Profil

Rabu, 29 Februari 2012

AKU




Aku
Siapakah aku??
Apakah aku sebongkah batu??
Kiranya tidak
Lalu...
Siapakah aku??

Aku tiba-tiba saja ada
Tersadar diriku bahwa aku ada
Kenapa ada??
Diadakankah??
Atau mengada-ada?
Ada atau tiada
Ada tiada
Dari ada menjadi tiada
Ada lalu tiada
Tiada lalu ada

Berarti aku tiada
Tiada yang menjadi ada
Lalu siapa yang sungguh ada??
Yang adanya tanpa tiada?
Ada ada ada
Dan terus ada
Itukah Yang Mahaada??
Yang menciptakan tiada menjadi ada
Karena sungguh-sungguh ada

Maka segala puji bagi Yang Mahaada
Dan tiada puji bagi yang hanya “ada”

Jakarta 28 Feb 2012

ISLAM DALAM PESONA SENI




Oleh : Abdul Munir Mulkhan *)

Seni dalam bentuk syair, lukisan, prosa atau lainnya yang indah membuat orang akan merasa lebih nyaman dalam melakukan suatu tindakan. Keindahan sering mendorong seseorang secara sukarela melakukan sesuatu tindakan meski kadang harus membayar mahal. Pembacaan kitab suci Al Quran dengan suara merdu bisa membuat seseorang terpesona lalu mencoba mencari tahu makna baris-baris ayat yang dibaca tersebut.

Manusia memiliki beragam cara untuk memahami persoalan, merespons apa yang dihadapi, mengkriet sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hidup manusia terus berproses sepanjang waktu hampir tanpa henti sebagai sebuah kebudayaan. Allah seolah terus mencipta sesudah manusia lahir ke bumi. Lahirlah beragam daya kreasi yang bernilai indah sebagai bagian dari sunnatullah; hukum alam sebagai hukum Tuhan.

Keindahan bisa menghiasi pemikiran, cara, dan narasi serta pilihan kata saat mengungkap hasil pemikiran tersebut. Seringkali orang bersetuju dengan apa yang dikatakan seseorang yang lain, tetapi enggan mengikuti pendapat itu hanya karena diucapkan dengan nada dan pilihan kata yang kasar. Sebaliknya, seseornag bisa tidak bersetuju dengan pendapat seseorang yang lain tapi tidak menolaknya hanya karena disajikan dalam susunan dan pilihan kata nan indah. Seni memiliki sendiri daya pesona sendiri yang membuat seseorang tidak melakukan atau melakukan tindakan.

Demikian pula halnya dengan praktik Islam dalam wujud perilaku atau tutur kata serta bahasa tubuh yang indah yang berseni bisa membangkitkan seseorang memahami dan menyadari Islam lebih baik. Begitulah seorang yang sebut saja sebagai orang “kafir”, tapi piawai melantunkan puji-puji atas Allah dan begitu lancar menjelaskan syair-syair Jalalluddin al-Rumi seperti yang pernah saya jumpai pada warga Australia.

Dengan cara berpikir seperti itu, kita mencoba memahami fakta historis tentang dua laki-laki berikut. Dikisahkan, dua ornag teman sepermainan yang lahir dan besar dari dan dalam keluarga yang berbeda, sebut saja namanya Darma dan Nur. Sewaktu kecil mereka sering bermain bersama seperti anak-anak kampung lain. Selepas SMP keduanya tidak pernah bertemu untuk waktu cukup lama akibat dari pilihan sekolah di kota yang berbeda. Keduanya pemeluk Islam yang tergolong taat, namun mereka tumbuh sebagai dua sosok pribadi berbeda.

Saat bertemu kembali seperempat abad kemudian, keduanya menyadari praktik keislaman mereka berbeda. Darma tumbuh sebagai laki-laki dewasa dengan keluarga yang mapan dan tergolong rajin beribadah. Namun, di mata Nur, praktik kesilaman teman waktu kecilnya itu lebih didasari tradisi yang tumbuh dalam masyarakat yang lebih dikenal sebagai kaum abangan di mana Darma berasal. Sementara Nur yang lahir dari keluarga santri dan lulus sarjana syariah (baca:fikih) selalu menyesuaikan tindakannya dari detail aturan fikih yang pernah ia pelajari.

Kedua orang itu tidak pernah bermimpi untuk lahir dari keluarga santri atau abangan. Takdir sosial (saya sering menyebut latar belakang sosial-budaya seseorang, Emile Durkheim menyebutnya sebagai fakta sosial) “memaksa” dua orang itu berpikir, merasa, dan berperilaku berbeda. Bagi Darma, Muslim yang baik ialah Muslim yang bisa mikul dhuwur mendem jero dengan melestarikan dan nguri-uri apa yang dulu diwariskan orang tua dan berbuat baik kepada sesama. Tidak demikian bagi Nur ketika melihat apa yang dipraktikkan masyarakat itu tidak sesuai ajaran Islam (fikih).

Pembaca tentu berbeda-beda dalam melihat dan menilai praktik keislaman kedua orang teman sepermainan tersebut diatas. Tiap pandangan demikian tentu sah-sah saja, tetapi adalah penting untuk melihat dari sisi Darma di satu pihak dan Nur di pihak lain sendiri. Seringkali seseorang menjadi pengikut NU atau Muhammadiyah lebih karena takdir sosial seperti Darma dan Nur tersebut diatas. Amat jarang karena pencarian yang disadari seseorang memilih sebagai pengikut salah satu dari dua organisasi Islam tersebesar di negeri ini.

Lebih rumit lagi adalah bagaimana ragam dan perbedaan dalam praktik keislaman pemeluk Islam di dunia, juga di negeri ini. Di mata seorang seniman, fakta keragaman itu adalah keindahan yang bisa dilukis dalam sejumlah bait syair atau selembar dan berlembar kanvas. Allah tentu berkuasa mengubah latar belakang sosial semua orang sehingga seragam lalu tumbuh sebagai manusia dengan perilaku keislaman yang seragam pula. Tapi, inilah tampilan indah realitas agar semua saling menimpa dan saling belajar. Akhirnya, bukankah Allah sendiri yang menjadi hakim penentu siapa ahli surga nanti?

Seorang atau kelompok orang bisa tergolong berada dalam kesadaran Islami walaupun tidak pernah memenuhi lima rukun Islam: syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Kesadaran Ilahi dan Islamnya terlukis dalam karya sastra dan lukisan yang indah mempesona. Banyak orang dan masyarakat berperilaku Islami meski secara formal mereka menyatakan menolak sistem kepercayaan dan sistem ritual Islam. Ada orang atau sekelompok orang yang secara formal menyatakan beriman kepada Allah, secara fisik tampak memenuhi ajaran Islam, tapi tindakannya menyakiti orang lain dan membuat banyak orang menderita.

Seseorang atau sekelompok orang menjadi Muslim dan berbaiat kepada Rasulullah bukan akibat hukum fikih, melainkan terpeseona keindahan kemanusiaan dalam perilaku Rasul tersebut. Ilmu hukum fikih sendiri baru lahir sekitar satu abad sesudah Muhammad SAW wafat. Kemampuan kitab Al Quran berhasil mengungguli kitab-kitab sebelumnya lebih karena pesona keindahan sastra dan kesadaran kemanusiaan, nukan karena argumen hukum atau filsafat. Seringkali keberislaman dan keberimanan, kadang dan seringkali juga organisasi Islam menjadi sebuah berhala yang menghalangi seseorang untuk berbuat baik kepada sesama mengabdi secara total tanpa pamrih surgawi kepada Allah.

Islam bisa dibaca dan dipahami dari sudut verbal dari dokumen tertulis dari kotab suci dan Sunnah rasul atau pendapat para ulama berkaitan dengan sumber verbal tersebut, tapi juga bisa dibaca dan dipahami dari fakta sosial dan kesejarahan apa yang dilakukan penganutnya. Pemahaman dari dua cara atau model itu hasilnya bisa berbeda, mungkin saling bertentangan.

Adalah Taufik Abdullah yang, antara lain, mencoba membaca dari sudut pandang kedua sehingga diperoleh ragam Islam yang ia sebut Islam universal, yang di mana pun pada dasarnya sama (ini mirip Islam verbal). Lalu, Islam regional yang berkembang di suatu kawasan, misalnya timur Tengah atau Asia, Eropa, Afrika, Amerika, dan Australia.

Masing-masing Islam secara relatif berbeda sesuai sejarah masuk dan berkembangnya Islam di akawasan tersebut dan siap elite berpengaruh di dalamnya. Terakhir ialah Islam lokal yang berkembang di suatu daerah seperti di Indonesia dengan sub-sub daerahnya, seperti Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Papua, dan Nusa Tenggara, atau Maluku. Masing-masing Islam daerah ini unik dan relatif berbeda satu dan lainnya. Nah, Islam yang terakhir inilah yang bisa disebut Islam kultural atau Islam budaya.

Demikian pula keberislaman seseorang atau sekelompok orang. Oleh karena itu, daripada menyebut orang lain yangberbeda tradisi praktik keislamannya akan masuk neraka, mungkin lebih baik sebaliknya sehingga jika itu didengar Allah sebagai sebuah doa akan lebih indah. Kadang menjadi pengikut Jabariah atau Murjiah itu perlu, karena pada akhirnya hanya Allah yang menentukan seseorang akan menjadi ahli surga atau bukan.

Hidup susah karena miskin, menjadi  lebih susah lagijika saling berebut mengklaim diri ahli surga sembari memasukkan orang lain sebagai calon ahli neraka. Lebih indah jika bisa maju bersama dari sudut berbeda, bekerja keras mengelola bumi Tuhan sehingga bisa menjalani hidup lebih maju, makmur, dan sejahtera. Sekaligus membuktikan bahwa meyakini Islam sebagai ajaran yang benar, bukan hanya dijamin Allah, melainkan juga bisa hidup berkecukupan dalam damai bersama seribu keyakinan berbeda.

*) Penulis adalah Guru Besar Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selasa, 28 Februari 2012

KELUHAN ALAM

Oleh: K.H. A. Mustofa Bisri



Tuhan,
lihatlah betapa baik kamu beragama negeri ini.
Mereka terus membuatkan-Mu rumah-rumah mewah
di antara gedung-gedung kota
yang ada di tengah-tengah sawah
dengan kubah-kubah megah
dan menara-menara menjulang
untuk meneriakkan nama-Mu
menambah segan dan keder hamba-hamba kecil-Mu
yang ingin sowan kepada-Mu.

Mereka yang Engkau anugerahi kekuatan
seringkali bahkan merasa diri Engkau sendiri.
Mereka bukan hanya ikut menentukan ibadah,
tapi juga menetapkan siapa ke surga, siapa ke neraka.
Mereka sakralkan pendapat mereka
dan mereka akbarkan semua yang mereka lakukan
hingga takbir dan ikrar mereka yang kosong
bagai perut beduk."

"Mereka bahkan dengan berani mambawa-bawa nama-Mu
untuk menghancurkan nilai-nilai ajaran-Mu yang mulia.
Atas nama-Mu mereka meretas tali persaudaraan yang
Engkau suruh jalin.
Atas nama-Mu mereka menyebar kebencian yang
Engkau benci."


Ya Allah


Allahu Akbar!

Pekik kalian menghalilintar
Membuat makhluk-makhluk kecil bergetar
Allahu Akbar!

Allah Maha Besar
Urat-urat leher kalian membesar
Meneriakkan Allahu Akbar
Dan dengan semangat jihad
Nafsu kebencian kalian membakar
Apa saja yang kalian anggap mungkar

Melihat keganasan kalian aku yakin
Kalian belum pernah bertemu Ar-Rahman
Yang kasih sayang-Nya meliputi segalanya
Bagaimana kau begitu berani mengatasnamakan-Nya
Ketika dengan pongah kau melibas mereka
Yang sedang mencari jalan menuju-Nya

Allahu Akbar!
Syirik adalah dosa paling besar
Dan syirik yang paling akbar
Adalah mensekutukan-Nya
Dengan mempertuhankan diri sendiri
Dengan memutlakkan kebenaran sendiri

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri

Selasa, 21 Februari 2012

SELEMBAR DAUN

Aku sedang memejamkan mata
memikirkanmu
ketika selembar daun
bagai beludru
biru keemasan warnanya
tiba-tiba jatuh ke pangkuanku
kuelus daun yang seperti basah itu
dalam keriangan bocah
ah, pasti kau yang mengirimkannya, bukan?
- seperti semua yang tiba-tiba datang membahagiakanku -
semoga isyarat darimu:
cintaku kau terima

(M. Ustav Abi Sri : 2000)

Jumat, 17 Februari 2012

Kau Ini Bagaimana?

Kau suruh aku takwa, khutbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya

Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah

Aku harus bagaimana?
Kau bilang kritiklah, aku kritik kau  marah
Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja

Kau ini bagaimana?
atau...
Aku harus bagaimana?

(M. Ustav Abi Sri, 1987)

Kamis, 02 Februari 2012

CORRUPTION


Kata-kata korupsi seolah-olah sudah menjadi santapan setiap hari di republik ini. Kalau tidak percaya, anda boleh mencoba membaca semua media yang terbit pada hari ini bisa dipastikan bahwa anda akan menemukan liputan mengenai korupsi. Tetapi disini saya tidak akan mengulas pengertian apa itu korupsi secara ilmiah, misalnya dilihat dari akar katanya atau mungkin dari pendapat para ahli dibidang perkorupsian. Definisinya cukup ngikut saja dengan apa kata orang jawa yaitu nyolong, dimana orang yang melakukannya disebut maling. Atau pengertian pendek via Bahasa Indonesia yaitu mencuri, dengan penyebutan orang yang melakukannya disebut pencuri.
Seringkali –karena tuntutan pekerjaan- saya mendengar paparan dari Kementerian PAN & RB serta dari Komisi Pemberantasan Korupsi bahwa Indonesia berada diperingkat bawah dalam rangking negara-negara yang korupsinya rendah. Data terakhir di Tahun 2011 menunjukkan bahwa indeks korupsi Indonesia berada pada poin 2,8 dari skala 10. Sebagai perbandingan Singapura yang berada pada peringkat pertama dunia berada poin 9,3. Sungguh pencapaian yang sangat jauh dengan apa yang kita miliki, mengingat kita adalah negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.
Kembali ke pembahasan awal kita tentang apa itu korupsi. Berangkat dari definisi mencuri, korupsi berarti  mengambil apa-apa yang bukan menjadi haknya. Contoh kecilnya adalah seperti yang saya lakukan ketika menulis artikel ini. Dimana saya menulis pada waktu jam kantor dan menggunakan peralatan kantor –maklum lagi mblenger mikirin kerjaan-. Hehe.. Iya, saya merasa ini bukan pada tempatnya, mengingat saya kerja dan dibayar disini untuk menyelesaikan tugas-tugas kantor, jadi saya semestinya saya tidak melakukan hal-hal lain yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan kantor, kecuali mungkin yang agak dimaafkan melakukannya pada jam istirahat. Sulit memang, tapi begitulah yang semestinya. Karena sebagaimana kita tahu, para pendahulu-pendahulu kita pun sebegitunya dalam memberikan contoh. Yang sangat populer adalah kisah khalifah Umar bin Abdul Aziz dimana ketika beliau sedang berada di ruang kerjanya lalu kedatangan seorang tamu untuk membicarakan masalah pibadi maka dengan segera sang khalifah mematikan lampu minyaknya untuk kemudian membicarakan masalah pribadi tersebut dalam ruang yang gelap tanpa cahaya. Dan ada juga tauladan dan nasehat dari Ulama berpengaruh di Jawa Tengah, bahwa ketika beliau diminta untuk memberikan ceramah keagamaan di suatu instansi pemerintah pada jam kerja beliau menolaknya dengan alasan bahwa pada jam tersebut yang mesti dilakukan oleh pegawainya adalah bekerja bukan yang lain termasuk ceramah keagamaan. Begitu kira-kira.
Nah, jika kita mau menggunakan standar tersebut, barangkali akan lebih banyak perbuatan kita di kantor yang terjaring dalam definisi korupsi. Jangankan kasus yang melibatkan petinggi-petinggi kita yang nilainya triliunan, apa yang telah saya lakukan diatas pun semestinya sudah termasuk perilaku koruptif. Contoh kecil yang pernah saya bikin perhitungan kerugian kasarnya adalah penggunaan fasilitas telepon kantor untuk keperluan pribadi, jika katakanlah ¼ jumlah PNS yang sebanyak 1.000.000 orang menggunakan telepon kantor dengan nominal 1000 per hari aja, maka bisa ditemukan angka kerugian 1milyar/hari, 22milyar/bulan dan 235milyar/tahun hanya dari pos penggunaan telepon. Luar biasa!!!
Lalu, bagaimana kita bisa mengatasi budaya korupsi yang telah membudaya di negeri kita??? Terlintas saya membayangkan bahwa hal tersebut bisa dilakukan dengan gerakan dari atas maupun bawah. Dari atas, dimulai dari pucuk pimpinan tertinggi republik ini dengan memberikan tauladan dengan membuat program -yang paling tidak terkait dengan pelaksanaan tugasnya- murah biaya, sederhana, tidak mewah. Dalam hal ini sudah ada contohnya pada diri Presiden Iran dalam hal kesederhanaannya dalam melakukan tugas kenegaraannya. Kemudian Presiden memberikan pengawasan langsung dan perhatian yang mendalam atas perilaku para Menterinya dalam melakukan tugas kenegaraan terutama terkait dengan penggunaan anggaran. Yang seterusnya dapat diteruskan kebawah yaitu Menteri mengawasi eselon I-nya. Dirjen mengawasi eselon II-nya dst.
Lalu, bagaimana dengan gerakan dari bawah?? Gerakan dari bawah yang saya maksudkan disini adalah kegiatan pendidikan dan penanaman budaya yang dilakukan mulai dari SD sampai dengan Universitas bahwa korupsi itu termasuk perilaku maling, pencurian yang derajatnya sama dengan pencopet dsb. Dengan penanaman yang sejak dini tersebut itulah nilai-nilai non koruptif akan tertanam. Yang selanjutnya apabila para siswa dan mahasiswa tersebut mentas dalam kegiatan bermasyarakat sudah tidak lagi menerapkan budaya koruptif tersebut.
Hmmm.. Jika demikian adanya mungkin kita perlu waktu yang lama untuk bebas dari kungkungan perilaku koruptif, tapi jika tidak dicoba dan dimulai, kapan kita bisa??? Hanya menunggu keajaiban adalah hal yang mustahil. Yang paling ideal adalah jika kita ingat pesan Aa Gym tentang 3M. Mulai dari diri sendiri, mulai dari yang kecil, dan mulai dari sekarang. J

SINYAL DAN FREKUENSI


Jika kita akan mendengarkan sebuah radio, hal pertama yang harus kita pastikan adalah apakah pesawat radio yang kita punyai mampu menangkap sinyal yang dikirimkan dari pemancar yang dipunyai oleh para stasiun radio, hal berikutnya yang akan kita lakukan adalah kita akan mencari stasiun radio yang mempunyai siaran/program yang kita sukai atau yang perlu untuk kita dengarkan.

Betapa akan kesalnya kita, jika seandainya kita tidak bisa menemukan frekuensi stasiun radio yang mampu memenuhi kebutuhan kita pada saat itu, entah sekedar hiburan atau untuk mendapatkan sesuatu informasi yang berguna bagi kita.  Lebih parah lagi jika pesawat radio kita, tidak mampu menangkap seluruh sinyal dari seluruh stasiun radio manapun alias pesawat radio kita dalam kondisi rusak. Betapa kita akan menjadi kesepian karena tidak ada hiburan atau dalam posisi no information karena kita tidak jadi mendapat informasi yang mungkin sangat kita butuhkan pada waktu itu.

                Saya merasa diri kita tak ubahnya seperti pesawat radio, yang harus selalu mampu untuk menangkap sinyal untuk bisa tetap berguna, dan mempunyai standar frekuensi tertentu yang telah ditentukan sehingga mampu untuk berkomunikasi tidak hanya dengan sesama tetapi juga dengan Sang Pencipta. Ketidakmampuan kita untuk menghadirkan sinyal dan kemampuan berada pada frekuensi tertentu akan membuat kita seolah akan kehilangan petunjuk. Padahal di dalam diri manusia itu sendiri sudah terdapat alat untuk menghadirkan sinyal tersebut yang berupa akal dan hati. Yang apabila kita mampu menggunakannya dalam bentuk akal yang sehat dan hati yang bersih, niscaya sinyal dalam diri kita akan menjadi kuat sehingga membuat kita mampu berada pada frekuensi yang sejalan dengan frekuensi yang disenangi oleh-NYA.

Hal tersebut bisa dianalogikan seperti ketika kita berbicara dengan sesama manusia, kita tentu akan mencari seseorang yang nyambung dengan kita yang pada akhirnya kita bisa nyaman ketika berbicara dengannya. Sehingga dalam berbicara kita tidak perlu panjang lebar berkata-kata, tidak perlu menggunakan otot, untuk menerjemahkan maksud ataupun keinginan kita, bahkan pada level tertentu cukup menggunakan bahasa tubuh atau mungkin bahasa hati untuk mengkomunikasikan pemikiran, kemauan atau keinginan kita. Sungguh sangat nyaman bila kita berada pada kondisi itu. Tenaga dan pikiran kita hemat. Dan apa yang akan kita tuju akan lebih cepat tercapai. Padahal mungkin seseorang tersebut bisa jadi jauh lebih pandai dan berkelas dengan kita atau mungkin jauh lebih bodoh dan urakan daripada kita, namun karena sefrekuensi apapun jadi bisa nyambung.

Nah, barangkali ketika kita akan ”berbicara” dengan-NYA juga begitu. Kita mesti sesuai dengan apa yang Beliau maui. Apa yang membuat Beliau tidak berkenan janganlah kita dekat-dekati dan semestinya apa yang membuat Beliau senang, ya semestinya banyak-banyak kita dekati. Sehingga -dalam tingkatan tertentu- kita cukup mbatin saja apa yang ingin kita ungkapkan sudah dapat jawabannya dari-NYA.

Sungguh akan terasa nyaman kiranya jika kita mampu dalam keadaan seperti tersebut diatas, dada kita akan terasa lapang, pikiran kita akan terasa segar, langkah kita akan terasa ringan dan mungkin hajat kita akan terpenuhi. Lalu pertanyaan buat diri kita –wa bil khusus- saya sendiri kapan saya berada pada maqam seperti itu??? Wallahu a’lam. Namun yang pasti alat dan media sudah disediakan oleh-NYA, tinggal kita sendiri mau tidak menggunakannya.
                                                                                                                               
                                                                                    Disempurnakan di
                                                                                                                                Jakarta, 2 Februari  2012

LA UBALI, GAK PATHEKEN !!!



Waktu berjalan dan terus berjalan, tidak terasa tahun sudah menginjak pada angka 2011, pada tahun ini (seperti dengan tahun yang sudah-sudah) undangan untuk menghadiri pernikahan akan datang silih berganti. Bulan depan sudah mengantri dua undangan yang berbarengan dari rekan kerja, dan mungkin akan segera menyusul rekan yang lain pada bulan-bulan berikutnya.

Tetapi terlepas dari itu, dalam pandanganku urusan menikah adalah suatu urusan yang gampang-gampang susah. Gampang bagi yang cepat mendapatkannya dan susah bagi yang agak lambat mendapatkannya. Dalam hal ini diriku mungkin masuk kategori yang kedua. He..He..

Perintah untuk menikah sudah diwahyukan oleh Allah dalam surat An-Nuur ayat 24 dimana Beliau berfirman: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. Jadi tidak dapat dielakkan lagi bahwa Allah sudah sangat jelas untuk menganjurkan bagi hambaNYA yang sendirian dan yang layak dari golongan hamba-hamba sahaya untuk menikah, dan karenanya Allah akan memampukan mereka dengan karunia-NYA karena Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui.

Ada banyak hal mungkin yang bisa dipetik dari anjuran Allah tersebut, mengingat Beliau-lah yang paling sangat mengetahui kondisi dari para hamba-hambaNYA, mulai dari dapat tersalurkannya naluri seksual dengan cara sah dan terpuji; dapat memelihara dan memperbanyak keturunan dengan terhormat, sehingga dapat menjaga kelestarian hidup umat manusia; tersalurkannya naluri keibuan dan kebapakan dalam kehidupan rumahtangga bersama anak-anak; melatih kemampuan bekerjasama, berbagi tugas dan rasa tanggungjwab; serta terbentuknya tali kekeluargaan dan silaturahmi antar keluarga, sehingga memupuk rasa sosial dan akhirnya dapat membentuk masyarakat yang kuat serta bahagia.

Namun untuk sekarang, bagi saya tidak mudah untuk memutuskan untuk terjun dalam dunia nikah-menikah, tidak tahu kenapa, terasa banyak sekali yang harus dipertimbangkan baik itu intern atau ekstern selalu ada saja yang mesti difikirkan ulang dengan jernih. Tidak tahu kenapa, tapi mungkin karena saya memang sudah ditakdirkan untuk masuk kedalam golongan yang kedua seperti yang tersebut diatas) jadi ya memang akan seperti ini jadinya. Masukan, saran, kritik, pertanyaan, sindiran, tantangan, godaan dari rekan sejawat, atasan, orang tua, saudara, dan lain sebagainya terasa sudah kenyang untuk didengarkan, dirasakan, difikirkan atau apalah lagi namanya. Dalam berbagai kesempatan, sempat terlintas untuk tidak ada salahnya menerobos dari bayang-bayang atau kurungan atas apa yang harus saya pertimbangkan tersebut. Tetapi, mudah ditebak menjalaninya akan terasa seperti setengah-setengah, maju-mundur, dan terkesan hanya menuruti dorongan bahwa kamu sudah saatnya menikah.

Mesti butuh perenungan dan evaluasi yang menyeluruh tentang hal ini. Bagaimanakah sih hakekatnya kita bisa memutuskan untuk menikah??. Seiring bergulirnya waktu, akhirnya bertemulah saya pada titik dimana saya dalam hal ini harus benar-benar menyerahkan pengambilan keputusan ini kepada Allah S.W.T, Tuhannya manusia, karena Beliau-lah yang paling Maha Tahu akan kondisi hambaNYA. Dan saya harus benar-benar memastikan bahwa Beliau-lah yang paling berhak untuk menyuruh saya untuk menikah dan memilihkan siapa yang akan saya nikahi.
Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia; Raja manusia; Sembahan manusia; Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi; yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia; dari (golongan) jin dan manusia. (An-Naas 1-6). Jelas dalam surat tersebut bahwa Beliau-lah sang Raja manusia, yang menguasai manusia dan memelihara manusia dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi ke dalam dada manusia, dan syaitan tersebut bisa dari golongan jin dan manusia. Maka menurut hemat saya, kedepan, segala masukan, saran, kritik, pertanyaan, sindiran, tantangan, godaan dari rekan sejawat, atasan, orang tua, saudara, atau siapapun termasuk keinginan dari diri saya sendiri hukumnya wajib untuk tidak didengarkan. Saya harus dalam keadaan nol, untuk dapat menerima petunjuk dari Yang Maha Kuasa tersebut. Berat memang, tapi apa mau dikata, mau tidak mau harus dijalani. Karena bagi saya petunjuk tersebut akan menjadi sebuah modal yang tidak terhingga dalam mengarungi lautan yang bernama pernikahan.

Demikianlah kiranya, “ijtihad” saya, yang mungkin hanya akan berguna bagi diri saya sendiri, tidak bagi orang lain, karena setiap orang mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lainnya.
Lalu, bagaimana jika ada pertanyaan sampai kapan hal itu terjadi?? Jawabnya unlimited, saya serahkan sepenuhnya kepada Allah. Lah, tar ga kawin-kawin atau malah ga jadi kawin dong?? Jawabnya Gak patheken, karena Nabi pernah memberikan contoh pada saat menjalani peristiwa Perang Badar, sebuah pernyataan yang jenius diajukan kepada Allah ketika dalam kondisi pasukan yang kalah segala-galanya dari pasukan Quraisy yaitu: "Asalkan Engkau tidak marah kepadaku, ya Allah, maka atas segala ketentuan-Mu atas nasib kami di dunia, la ubali, aku tidak peduli." Atau dalam Bahasa Jawanya versi cak Nun: Gak patheken "!".
Dalam hal ini, orang yang berpikir linier, menyangka yang akan terjadi pada dirinya dengan sikap itu adalah nasib buruk di dunia. Insya Allah dia keliru. Sebab justru dengan keikhlasan itu, siklus lingkar keberkahan: engkau memperoleh cinta Allah dan Rasulullah, dan juga akan dijamin kesejahteraanmu, rezeki dan kemenanganmu, sebab dunia dan kehidupan ini milik-Nya. Dan Ia pasti lebih memilih melimpahkan rezeki kepada pencinta-Nya yang tidak membuatnya "cemburu" karena lebih mengutamakan karier dunia dibanding diri-Nya. Mungkin dirasa berlebihan

Demikian kiranya, sebuah pembelaan dari saya, ditengah berbagai desakan untuk segera menikah... J
                                                                                                                                                                                                                                                                    bangjul@gmail.com        Jakarta, 13 Juni 2011


DAFTAR PUSTAKA:
1.      Al Qur’an surat An-Nuur ayat 24 dan An-Naas ayat 1-6;
2.      Nadjib, Emha Ainun. 2008. Jejak Tinju Pak Kiai. Jakarta: Kompas Gramedia.