Profil

Kamis, 02 Februari 2012

CORRUPTION


Kata-kata korupsi seolah-olah sudah menjadi santapan setiap hari di republik ini. Kalau tidak percaya, anda boleh mencoba membaca semua media yang terbit pada hari ini bisa dipastikan bahwa anda akan menemukan liputan mengenai korupsi. Tetapi disini saya tidak akan mengulas pengertian apa itu korupsi secara ilmiah, misalnya dilihat dari akar katanya atau mungkin dari pendapat para ahli dibidang perkorupsian. Definisinya cukup ngikut saja dengan apa kata orang jawa yaitu nyolong, dimana orang yang melakukannya disebut maling. Atau pengertian pendek via Bahasa Indonesia yaitu mencuri, dengan penyebutan orang yang melakukannya disebut pencuri.
Seringkali –karena tuntutan pekerjaan- saya mendengar paparan dari Kementerian PAN & RB serta dari Komisi Pemberantasan Korupsi bahwa Indonesia berada diperingkat bawah dalam rangking negara-negara yang korupsinya rendah. Data terakhir di Tahun 2011 menunjukkan bahwa indeks korupsi Indonesia berada pada poin 2,8 dari skala 10. Sebagai perbandingan Singapura yang berada pada peringkat pertama dunia berada poin 9,3. Sungguh pencapaian yang sangat jauh dengan apa yang kita miliki, mengingat kita adalah negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.
Kembali ke pembahasan awal kita tentang apa itu korupsi. Berangkat dari definisi mencuri, korupsi berarti  mengambil apa-apa yang bukan menjadi haknya. Contoh kecilnya adalah seperti yang saya lakukan ketika menulis artikel ini. Dimana saya menulis pada waktu jam kantor dan menggunakan peralatan kantor –maklum lagi mblenger mikirin kerjaan-. Hehe.. Iya, saya merasa ini bukan pada tempatnya, mengingat saya kerja dan dibayar disini untuk menyelesaikan tugas-tugas kantor, jadi saya semestinya saya tidak melakukan hal-hal lain yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan kantor, kecuali mungkin yang agak dimaafkan melakukannya pada jam istirahat. Sulit memang, tapi begitulah yang semestinya. Karena sebagaimana kita tahu, para pendahulu-pendahulu kita pun sebegitunya dalam memberikan contoh. Yang sangat populer adalah kisah khalifah Umar bin Abdul Aziz dimana ketika beliau sedang berada di ruang kerjanya lalu kedatangan seorang tamu untuk membicarakan masalah pibadi maka dengan segera sang khalifah mematikan lampu minyaknya untuk kemudian membicarakan masalah pribadi tersebut dalam ruang yang gelap tanpa cahaya. Dan ada juga tauladan dan nasehat dari Ulama berpengaruh di Jawa Tengah, bahwa ketika beliau diminta untuk memberikan ceramah keagamaan di suatu instansi pemerintah pada jam kerja beliau menolaknya dengan alasan bahwa pada jam tersebut yang mesti dilakukan oleh pegawainya adalah bekerja bukan yang lain termasuk ceramah keagamaan. Begitu kira-kira.
Nah, jika kita mau menggunakan standar tersebut, barangkali akan lebih banyak perbuatan kita di kantor yang terjaring dalam definisi korupsi. Jangankan kasus yang melibatkan petinggi-petinggi kita yang nilainya triliunan, apa yang telah saya lakukan diatas pun semestinya sudah termasuk perilaku koruptif. Contoh kecil yang pernah saya bikin perhitungan kerugian kasarnya adalah penggunaan fasilitas telepon kantor untuk keperluan pribadi, jika katakanlah ¼ jumlah PNS yang sebanyak 1.000.000 orang menggunakan telepon kantor dengan nominal 1000 per hari aja, maka bisa ditemukan angka kerugian 1milyar/hari, 22milyar/bulan dan 235milyar/tahun hanya dari pos penggunaan telepon. Luar biasa!!!
Lalu, bagaimana kita bisa mengatasi budaya korupsi yang telah membudaya di negeri kita??? Terlintas saya membayangkan bahwa hal tersebut bisa dilakukan dengan gerakan dari atas maupun bawah. Dari atas, dimulai dari pucuk pimpinan tertinggi republik ini dengan memberikan tauladan dengan membuat program -yang paling tidak terkait dengan pelaksanaan tugasnya- murah biaya, sederhana, tidak mewah. Dalam hal ini sudah ada contohnya pada diri Presiden Iran dalam hal kesederhanaannya dalam melakukan tugas kenegaraannya. Kemudian Presiden memberikan pengawasan langsung dan perhatian yang mendalam atas perilaku para Menterinya dalam melakukan tugas kenegaraan terutama terkait dengan penggunaan anggaran. Yang seterusnya dapat diteruskan kebawah yaitu Menteri mengawasi eselon I-nya. Dirjen mengawasi eselon II-nya dst.
Lalu, bagaimana dengan gerakan dari bawah?? Gerakan dari bawah yang saya maksudkan disini adalah kegiatan pendidikan dan penanaman budaya yang dilakukan mulai dari SD sampai dengan Universitas bahwa korupsi itu termasuk perilaku maling, pencurian yang derajatnya sama dengan pencopet dsb. Dengan penanaman yang sejak dini tersebut itulah nilai-nilai non koruptif akan tertanam. Yang selanjutnya apabila para siswa dan mahasiswa tersebut mentas dalam kegiatan bermasyarakat sudah tidak lagi menerapkan budaya koruptif tersebut.
Hmmm.. Jika demikian adanya mungkin kita perlu waktu yang lama untuk bebas dari kungkungan perilaku koruptif, tapi jika tidak dicoba dan dimulai, kapan kita bisa??? Hanya menunggu keajaiban adalah hal yang mustahil. Yang paling ideal adalah jika kita ingat pesan Aa Gym tentang 3M. Mulai dari diri sendiri, mulai dari yang kecil, dan mulai dari sekarang. J

3 komentar:

  1. wiww...berarti servis motor pas jam kerja termasuk Korupsi ya Aa'???hihihihi

    BalasHapus
  2. Konon korupsi itu tingkatnya macam2, ada yang korupsi sistemik sehingga membuat negara menjadi negara yang bukan- bukan. Ada korupsi institusi sehingga membuat korupsi berjamaah. Ada korupsi individu sehingga disebut tukang palak. Dan ada korupsi abal-abal sehingga disebut MBAGUSI karena berani nulis topik korupsi dengan cara korupsi abal-abal. Dan yang lebih korupsi abal-abal adalah yang kasih komentar dan kritik kepada tulisan tentang korupsi dengan cara korupsi abal-abal juga. Tapi Yang paling abal-abal adalah bikin komen sekaligus bikin stiker "Koruptor dilarang komen"....

    BalasHapus
  3. hahaha..mohon koreksian ya..ini namanya pencemaran nama baik...munalisa tidak pernah bikin stiker Koruptor dilarang komen...tapi bikin SPANDUK "KORUPTOR DILARANG KOMEN"...lebih gede daripada stiker kan...hahahaa

    BalasHapus