By Luthfi Assyaukanie
Pada tahun 1950an, KH Wahid Hasjim, tokoh NU yang juga
ayah almarhum Gus Dur, pernah mengeluh. Dia mengatakan bahwa “mencari seorang
akademisi di dalam NU ibarat mencari tukang es pada jam 1 malam.” Begitu
sulitnya mencari “orang pandai” di dalam NU hingga memaksa para pemimpin
organisasi ini merekrut orang-orang luar untuk dijadikan anggota NU.
Ketika Partai NU keluar sebagai pemenang ketiga pada
Pemilu 1955, mereka kesulitan mencari orang yang bisa dikirim ke Parlemen.
Untuk mengatasai krisis ini, mereka lalu merekrut beberapa tokoh dari luar
seperti Prof Sunarjo (ekonom), Asrul Sani (sutradara), Usmar Ismail (seniman),
dan dua orang keturunan Tionghoa Tan Kiem Liong dan Tan Eng Hong (pengusaha)
untuk bergabung ke NU. Saat itu, mencari orang pandai di NU benar-benar seperti
mencari tukang es pada jam 1 malam.
Amat bisa dimaklumi kalau pada tahun-tahun itu NU
mengalami defisit sumber daya manusia. Sebetulnya bukan tidak ada “orang
pandai” di dalam NU. NU sendiri adalah organisasi ulama, dan ulama dalam bahasa
Arab berarti “orang berilmu” atau “ilmuwan.” Tapi, kata “ulama” dalam NU
terlanjur direduksi hanya menjadi “ilmuwan agama” atau orang yang ahli tentang
agama saja.
Karena keahlian mereka sangat terbatas, maka NU
mengalami kesulitan ketika jam’iyah ini bertransformasi dari sebuah organisasi
keagamaan menjadi partai politik. Partai politik membutuhkan wakil yang terdiri
dari para ahli. Kalau tidak, mereka akan kesulitan menyampaikan aspirasi rakyat
di Parlemen, belum lagi harus berhadapan dengan lawan-lawan politik dari
berbagai latar belakang profesi dan keahlian.
Pada 1950an, tokoh-tokoh Islam yang terdidik dan ahli
dalam berbagai bidang ilmu (hukum, kedokteran, sains, dll) umumnya dipegang
oleh orang-orang Masyumi, selain beberapa yang bergabung ke dalam PNI dan PSI.
Sebagian besar tokoh Masyumi adalah orang-orang Islam yang pernah menjalani
pendidikan modern, baik di Belanda maupun di sekolah-sekolah Belanda yang ada
di Indonesia. Sedangkan orang NU hanyalah tamatan pesantren yang tidak
menguasai ilmu-ilmu umum.
Kondisi mengenaskan itu mulai berubah pada tahun
1980an, ketika generasi muda NU berbondong-bondong memasuki perguruan tinggi di
kota-kota besar. Urbanisasi dan proyek pembangunan yang dilancarkan Presiden
Soeharto menciptakan peluang besar bagi penduduk desa untuk mengenyam
pendidikan yang lebih tinggi dan lebih modern. Institusi-institusi profesional
dan perusahaan-perusahaan yang memerlukan tenaga kerja mendorong para pelajar
untuk semakin berpikir ke arah pendidikan yang lebih vokasional.
Generasi muda NU yang lahir pada akhir 1960an dan awal
1970an adalah generasi “baby-boomer” yang mendapat kesempatan belajar jauh
lebih baik dari orang-orang tua mereka. Sebagian besar anak-anak NU yang lahir
pada era ini mengenyam pendidikan umum atau pendidikan agama dengan kombinasi
pelajaran umum. Pada masa ini, tidak jarang para orang tua NU menyekolahkan
anak mereka secara ganda, pagi di sekolah umum (SD) dan sore di sekolah agama
(Ibtidaiyah).
Jasa Gus Dur. Ledakan bayi-bayi NU mulai dapat
dirasakan pada tahun 1990an dan semakin keras gaungnya setelah memasuki tahun
2000an. Seperti sudah disebutkan di atas, orang-orang NU kini banyak mengisi
jabatan-jabatan dan pos-pos penting, baik di pemerintahan maupun di
lembaga-lembaga profesional. Generasi muda NU juga menguasai gerakan masyarakat
sipil, yang sebelumnya didominasi anak-anak muda kota dan kelompok sekuler.
Yang paling menggembirakan adalah bahwa NU juga
leading dalam pengembangan pemikiran keagamaan, khususnya yang menyangkut
wacana pembaruan Islam. Umum diketahui bahwa gerakan pembaruan keagamaan adalah
milik kaum modernis. Gerakan pembaruan Islam pertama dimulai oleh kaum modernis
di Sumatra dengan didirikannya sekolah-sekolah modern seperti Adabiyah,
Jembatan Besi, dan Thawalib. Di Jawa, gerakan pembaruan Islam juga diusung oleh
kaum modernis, khususnya Muhammadiyah.
Sebelum tahun 1980an, NU selalu dianggap sebagai
organisasi Islam tradisional yang anti-pembaruan, anti-pemikiran, dan
reaksioner terhadap dunia modern. NU juga sering mendapatkan streotip sebagai
organisasi terbelakang, kolot, dan anti kemajuan.
Citra NU mengalami perubahan yang luar biasa sejak
pertengahan tahun 1980an, khususnya ketika Abdurrahman Wahid atau Gus Dur
memimpin jam’iyah ini. Gus Dur melakukan suatu gebrakan yang tak pernah dilakukan
para pendahulunya. Dia membawa NU dari organisasi yang “kolot” dan
“terbelakang” menjadi sebuah lembaga yang sangat dinamis.
Pada era Gus Dur lah NU mengalami artikulasi
intelektual yang sangat tinggi dan mampu melampaui pencapaian organisasi-organisasi
Islam modernis lainnya. Gus Dur sendiri adalah ikon bagi banyak isu penting
yang diusung gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Dia menjadi ikon demokrasi,
HAM, kebebasan, dan pluralisme. Sosok Gus Dur telah mengubah citra NU menjadi
sebuah gerakan modern yang pluralis, toleran, dan pro kemajuan.
Jasa terbesar Gus Dur adalah membuka ruang kebebasan
berpikir di dalam NU dan mendorong anak-anak muda NU untuk berani berpikir dan
berekspresi. Gus Dur rela menjadi pelindung mereka dari kritik dan serangan
kiai-kiai yang tak sejalan dengan gagasan itu. Gus Dur tak hanya mendorong
generasi muda NU untuk mengkaji “kitab kuning,” di mana khazanah Islam
terpendam, tapi juga melecut mereka untuk menguasai “kitab putih,” di mana
ilmu-ilmu sosial dan pengetahuan umum lainnya tersimpan.
Pewaris Gus Dur. Setelah Gus Dur wafat pada 30
Desember silam, warga Nahdliyin kembali berbicara tentang nasib NU Pasca Gus
Dur. Tiba-tiba mereka rindu akan sosok Gus Dur yang telah begitu banyak
memberikan jasa kepada jam’iyyah ini. Sebagian orang percaya bahwa sosok Gus
Dur akan sulit dicari gantinya. Sebagian lainnya berpendapat bahwa tidak perlu
persis seperti Gus Dur, yang penting adalah orang yang mampu memainkan peran
seperti yang dimainkan Gus Dur ketika ia memegang tampuk kepemimpinan NU. Itu
artinya orang tersebut haruslah visioner, punya karakter, punya jaringan luas,
bisa bergaul dengan siapa saja, mendukung demokrasi, kebebasan, dan HAM, serta
melindungi kaum minoritas.
Saya yakin bahwa NU memiliki orang seperti itu.
Mengatakan bahwa tidak ada orang yang sanggup menjalani peran Gus Dur sama
artinya mengatakan bahwa Gus Dur telah gagal melakukan regenerasi. Tentu saja,
orang itu tidak harus sama persis seperti Gus Dur. Jika ia memenuhi kualifikasi
Gus Dur dalam hal pengetahuan (agama dan umum), punya karakter, visioner, bisa
berbicara bahasa Inggris, punya jaringan luas di tingkat nasional dan
internasional, dan mendukung isu-isu kebebasan, demokrasi, dan HAM, maka dia
layak meneruskan perjuangan Gus Dur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar