Profil

Rabu, 29 Februari 2012

ISLAM DALAM PESONA SENI




Oleh : Abdul Munir Mulkhan *)

Seni dalam bentuk syair, lukisan, prosa atau lainnya yang indah membuat orang akan merasa lebih nyaman dalam melakukan suatu tindakan. Keindahan sering mendorong seseorang secara sukarela melakukan sesuatu tindakan meski kadang harus membayar mahal. Pembacaan kitab suci Al Quran dengan suara merdu bisa membuat seseorang terpesona lalu mencoba mencari tahu makna baris-baris ayat yang dibaca tersebut.

Manusia memiliki beragam cara untuk memahami persoalan, merespons apa yang dihadapi, mengkriet sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hidup manusia terus berproses sepanjang waktu hampir tanpa henti sebagai sebuah kebudayaan. Allah seolah terus mencipta sesudah manusia lahir ke bumi. Lahirlah beragam daya kreasi yang bernilai indah sebagai bagian dari sunnatullah; hukum alam sebagai hukum Tuhan.

Keindahan bisa menghiasi pemikiran, cara, dan narasi serta pilihan kata saat mengungkap hasil pemikiran tersebut. Seringkali orang bersetuju dengan apa yang dikatakan seseorang yang lain, tetapi enggan mengikuti pendapat itu hanya karena diucapkan dengan nada dan pilihan kata yang kasar. Sebaliknya, seseornag bisa tidak bersetuju dengan pendapat seseorang yang lain tapi tidak menolaknya hanya karena disajikan dalam susunan dan pilihan kata nan indah. Seni memiliki sendiri daya pesona sendiri yang membuat seseorang tidak melakukan atau melakukan tindakan.

Demikian pula halnya dengan praktik Islam dalam wujud perilaku atau tutur kata serta bahasa tubuh yang indah yang berseni bisa membangkitkan seseorang memahami dan menyadari Islam lebih baik. Begitulah seorang yang sebut saja sebagai orang “kafir”, tapi piawai melantunkan puji-puji atas Allah dan begitu lancar menjelaskan syair-syair Jalalluddin al-Rumi seperti yang pernah saya jumpai pada warga Australia.

Dengan cara berpikir seperti itu, kita mencoba memahami fakta historis tentang dua laki-laki berikut. Dikisahkan, dua ornag teman sepermainan yang lahir dan besar dari dan dalam keluarga yang berbeda, sebut saja namanya Darma dan Nur. Sewaktu kecil mereka sering bermain bersama seperti anak-anak kampung lain. Selepas SMP keduanya tidak pernah bertemu untuk waktu cukup lama akibat dari pilihan sekolah di kota yang berbeda. Keduanya pemeluk Islam yang tergolong taat, namun mereka tumbuh sebagai dua sosok pribadi berbeda.

Saat bertemu kembali seperempat abad kemudian, keduanya menyadari praktik keislaman mereka berbeda. Darma tumbuh sebagai laki-laki dewasa dengan keluarga yang mapan dan tergolong rajin beribadah. Namun, di mata Nur, praktik kesilaman teman waktu kecilnya itu lebih didasari tradisi yang tumbuh dalam masyarakat yang lebih dikenal sebagai kaum abangan di mana Darma berasal. Sementara Nur yang lahir dari keluarga santri dan lulus sarjana syariah (baca:fikih) selalu menyesuaikan tindakannya dari detail aturan fikih yang pernah ia pelajari.

Kedua orang itu tidak pernah bermimpi untuk lahir dari keluarga santri atau abangan. Takdir sosial (saya sering menyebut latar belakang sosial-budaya seseorang, Emile Durkheim menyebutnya sebagai fakta sosial) “memaksa” dua orang itu berpikir, merasa, dan berperilaku berbeda. Bagi Darma, Muslim yang baik ialah Muslim yang bisa mikul dhuwur mendem jero dengan melestarikan dan nguri-uri apa yang dulu diwariskan orang tua dan berbuat baik kepada sesama. Tidak demikian bagi Nur ketika melihat apa yang dipraktikkan masyarakat itu tidak sesuai ajaran Islam (fikih).

Pembaca tentu berbeda-beda dalam melihat dan menilai praktik keislaman kedua orang teman sepermainan tersebut diatas. Tiap pandangan demikian tentu sah-sah saja, tetapi adalah penting untuk melihat dari sisi Darma di satu pihak dan Nur di pihak lain sendiri. Seringkali seseorang menjadi pengikut NU atau Muhammadiyah lebih karena takdir sosial seperti Darma dan Nur tersebut diatas. Amat jarang karena pencarian yang disadari seseorang memilih sebagai pengikut salah satu dari dua organisasi Islam tersebesar di negeri ini.

Lebih rumit lagi adalah bagaimana ragam dan perbedaan dalam praktik keislaman pemeluk Islam di dunia, juga di negeri ini. Di mata seorang seniman, fakta keragaman itu adalah keindahan yang bisa dilukis dalam sejumlah bait syair atau selembar dan berlembar kanvas. Allah tentu berkuasa mengubah latar belakang sosial semua orang sehingga seragam lalu tumbuh sebagai manusia dengan perilaku keislaman yang seragam pula. Tapi, inilah tampilan indah realitas agar semua saling menimpa dan saling belajar. Akhirnya, bukankah Allah sendiri yang menjadi hakim penentu siapa ahli surga nanti?

Seorang atau kelompok orang bisa tergolong berada dalam kesadaran Islami walaupun tidak pernah memenuhi lima rukun Islam: syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Kesadaran Ilahi dan Islamnya terlukis dalam karya sastra dan lukisan yang indah mempesona. Banyak orang dan masyarakat berperilaku Islami meski secara formal mereka menyatakan menolak sistem kepercayaan dan sistem ritual Islam. Ada orang atau sekelompok orang yang secara formal menyatakan beriman kepada Allah, secara fisik tampak memenuhi ajaran Islam, tapi tindakannya menyakiti orang lain dan membuat banyak orang menderita.

Seseorang atau sekelompok orang menjadi Muslim dan berbaiat kepada Rasulullah bukan akibat hukum fikih, melainkan terpeseona keindahan kemanusiaan dalam perilaku Rasul tersebut. Ilmu hukum fikih sendiri baru lahir sekitar satu abad sesudah Muhammad SAW wafat. Kemampuan kitab Al Quran berhasil mengungguli kitab-kitab sebelumnya lebih karena pesona keindahan sastra dan kesadaran kemanusiaan, nukan karena argumen hukum atau filsafat. Seringkali keberislaman dan keberimanan, kadang dan seringkali juga organisasi Islam menjadi sebuah berhala yang menghalangi seseorang untuk berbuat baik kepada sesama mengabdi secara total tanpa pamrih surgawi kepada Allah.

Islam bisa dibaca dan dipahami dari sudut verbal dari dokumen tertulis dari kotab suci dan Sunnah rasul atau pendapat para ulama berkaitan dengan sumber verbal tersebut, tapi juga bisa dibaca dan dipahami dari fakta sosial dan kesejarahan apa yang dilakukan penganutnya. Pemahaman dari dua cara atau model itu hasilnya bisa berbeda, mungkin saling bertentangan.

Adalah Taufik Abdullah yang, antara lain, mencoba membaca dari sudut pandang kedua sehingga diperoleh ragam Islam yang ia sebut Islam universal, yang di mana pun pada dasarnya sama (ini mirip Islam verbal). Lalu, Islam regional yang berkembang di suatu kawasan, misalnya timur Tengah atau Asia, Eropa, Afrika, Amerika, dan Australia.

Masing-masing Islam secara relatif berbeda sesuai sejarah masuk dan berkembangnya Islam di akawasan tersebut dan siap elite berpengaruh di dalamnya. Terakhir ialah Islam lokal yang berkembang di suatu daerah seperti di Indonesia dengan sub-sub daerahnya, seperti Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Papua, dan Nusa Tenggara, atau Maluku. Masing-masing Islam daerah ini unik dan relatif berbeda satu dan lainnya. Nah, Islam yang terakhir inilah yang bisa disebut Islam kultural atau Islam budaya.

Demikian pula keberislaman seseorang atau sekelompok orang. Oleh karena itu, daripada menyebut orang lain yangberbeda tradisi praktik keislamannya akan masuk neraka, mungkin lebih baik sebaliknya sehingga jika itu didengar Allah sebagai sebuah doa akan lebih indah. Kadang menjadi pengikut Jabariah atau Murjiah itu perlu, karena pada akhirnya hanya Allah yang menentukan seseorang akan menjadi ahli surga atau bukan.

Hidup susah karena miskin, menjadi  lebih susah lagijika saling berebut mengklaim diri ahli surga sembari memasukkan orang lain sebagai calon ahli neraka. Lebih indah jika bisa maju bersama dari sudut berbeda, bekerja keras mengelola bumi Tuhan sehingga bisa menjalani hidup lebih maju, makmur, dan sejahtera. Sekaligus membuktikan bahwa meyakini Islam sebagai ajaran yang benar, bukan hanya dijamin Allah, melainkan juga bisa hidup berkecukupan dalam damai bersama seribu keyakinan berbeda.

*) Penulis adalah Guru Besar Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar