Oleh : Abdul Munir Mulkhan *)
Seni dalam bentuk syair, lukisan, prosa atau
lainnya yang indah membuat orang akan merasa lebih nyaman dalam melakukan suatu
tindakan. Keindahan sering mendorong seseorang secara sukarela melakukan
sesuatu tindakan meski kadang harus membayar mahal. Pembacaan kitab suci Al
Quran dengan suara merdu bisa membuat seseorang terpesona lalu mencoba mencari
tahu makna baris-baris ayat yang dibaca tersebut.
Manusia memiliki beragam cara untuk memahami
persoalan, merespons apa yang dihadapi, mengkriet sesuatu untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Hidup manusia terus berproses sepanjang waktu hampir tanpa
henti sebagai sebuah kebudayaan. Allah seolah terus mencipta sesudah manusia
lahir ke bumi. Lahirlah beragam daya kreasi yang bernilai indah sebagai bagian
dari sunnatullah; hukum alam sebagai hukum Tuhan.
Keindahan bisa menghiasi pemikiran, cara, dan
narasi serta pilihan kata saat mengungkap hasil pemikiran tersebut. Seringkali
orang bersetuju dengan apa yang dikatakan seseorang yang lain, tetapi enggan
mengikuti pendapat itu hanya karena diucapkan dengan nada dan pilihan kata yang
kasar. Sebaliknya, seseornag bisa tidak bersetuju dengan pendapat seseorang
yang lain tapi tidak menolaknya hanya karena disajikan dalam susunan dan
pilihan kata nan indah. Seni memiliki sendiri daya pesona sendiri yang membuat
seseorang tidak melakukan atau melakukan tindakan.
Demikian pula halnya dengan praktik Islam dalam
wujud perilaku atau tutur kata serta bahasa tubuh yang indah yang berseni bisa
membangkitkan seseorang memahami dan menyadari Islam lebih baik. Begitulah
seorang yang sebut saja sebagai orang “kafir”, tapi piawai melantunkan
puji-puji atas Allah dan begitu lancar menjelaskan syair-syair Jalalluddin
al-Rumi seperti yang pernah saya jumpai pada warga Australia.
Dengan cara berpikir seperti itu, kita mencoba
memahami fakta historis tentang dua laki-laki berikut. Dikisahkan, dua ornag
teman sepermainan yang lahir dan besar dari dan dalam keluarga yang berbeda,
sebut saja namanya Darma dan Nur. Sewaktu kecil mereka sering bermain bersama
seperti anak-anak kampung lain. Selepas SMP keduanya tidak pernah bertemu untuk
waktu cukup lama akibat dari pilihan sekolah di kota yang berbeda. Keduanya
pemeluk Islam yang tergolong taat, namun mereka tumbuh sebagai dua sosok
pribadi berbeda.
Saat bertemu kembali seperempat abad kemudian,
keduanya menyadari praktik keislaman mereka berbeda. Darma tumbuh sebagai
laki-laki dewasa dengan keluarga yang mapan dan tergolong rajin beribadah.
Namun, di mata Nur, praktik kesilaman teman waktu kecilnya itu lebih didasari
tradisi yang tumbuh dalam masyarakat yang lebih dikenal sebagai kaum abangan di
mana Darma berasal. Sementara Nur yang lahir dari keluarga santri dan lulus
sarjana syariah (baca:fikih) selalu menyesuaikan tindakannya dari detail aturan
fikih yang pernah ia pelajari.
Kedua orang
itu tidak pernah bermimpi untuk lahir dari keluarga santri atau abangan. Takdir
sosial (saya sering menyebut latar belakang sosial-budaya seseorang, Emile
Durkheim menyebutnya sebagai fakta sosial) “memaksa” dua orang itu berpikir,
merasa, dan berperilaku berbeda. Bagi Darma, Muslim yang baik ialah Muslim yang
bisa mikul dhuwur mendem jero dengan
melestarikan dan nguri-uri apa yang dulu diwariskan orang tua dan berbuat baik
kepada sesama. Tidak demikian bagi Nur ketika melihat apa yang dipraktikkan
masyarakat itu tidak sesuai ajaran Islam (fikih).
Pembaca tentu
berbeda-beda dalam melihat dan menilai praktik keislaman kedua orang teman
sepermainan tersebut diatas. Tiap pandangan demikian tentu sah-sah saja, tetapi
adalah penting untuk melihat dari sisi Darma di satu pihak dan Nur di pihak
lain sendiri. Seringkali seseorang menjadi pengikut NU atau Muhammadiyah lebih
karena takdir sosial seperti Darma dan Nur tersebut diatas. Amat jarang karena
pencarian yang disadari seseorang memilih sebagai pengikut salah satu dari dua
organisasi Islam tersebesar di negeri ini.
Lebih rumit
lagi adalah bagaimana ragam dan perbedaan dalam praktik keislaman pemeluk Islam
di dunia, juga di negeri ini. Di mata seorang seniman, fakta keragaman itu
adalah keindahan yang bisa dilukis dalam sejumlah bait syair atau selembar dan
berlembar kanvas. Allah tentu berkuasa mengubah latar belakang sosial semua
orang sehingga seragam lalu tumbuh sebagai manusia dengan perilaku keislaman
yang seragam pula. Tapi, inilah tampilan indah realitas agar semua saling
menimpa dan saling belajar. Akhirnya, bukankah Allah sendiri yang menjadi hakim
penentu siapa ahli surga nanti?
Seorang atau
kelompok orang bisa tergolong berada dalam kesadaran Islami walaupun tidak
pernah memenuhi lima rukun Islam: syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji.
Kesadaran Ilahi dan Islamnya terlukis dalam karya sastra dan lukisan yang indah
mempesona. Banyak orang dan masyarakat berperilaku Islami meski secara formal
mereka menyatakan menolak sistem kepercayaan dan sistem ritual Islam. Ada orang
atau sekelompok orang yang secara formal menyatakan beriman kepada Allah,
secara fisik tampak memenuhi ajaran Islam, tapi tindakannya menyakiti orang
lain dan membuat banyak orang menderita.
Seseorang atau
sekelompok orang menjadi Muslim dan berbaiat kepada Rasulullah bukan akibat
hukum fikih, melainkan terpeseona keindahan kemanusiaan dalam perilaku Rasul
tersebut. Ilmu hukum fikih sendiri baru lahir sekitar satu abad sesudah
Muhammad SAW wafat. Kemampuan kitab Al Quran berhasil mengungguli kitab-kitab
sebelumnya lebih karena pesona keindahan sastra dan kesadaran kemanusiaan,
nukan karena argumen hukum atau filsafat. Seringkali keberislaman dan
keberimanan, kadang dan seringkali juga organisasi Islam menjadi sebuah berhala
yang menghalangi seseorang untuk berbuat baik kepada sesama mengabdi secara
total tanpa pamrih surgawi kepada Allah.
Islam bisa
dibaca dan dipahami dari sudut verbal dari dokumen tertulis dari kotab suci dan
Sunnah rasul atau pendapat para ulama berkaitan dengan sumber verbal tersebut,
tapi juga bisa dibaca dan dipahami dari fakta sosial dan kesejarahan apa yang
dilakukan penganutnya. Pemahaman dari dua cara atau model itu hasilnya bisa
berbeda, mungkin saling bertentangan.
Adalah Taufik Abdullah
yang, antara lain, mencoba membaca dari sudut pandang kedua sehingga diperoleh
ragam Islam yang ia sebut Islam universal, yang di mana pun pada dasarnya sama
(ini mirip Islam verbal). Lalu, Islam regional yang berkembang di suatu
kawasan, misalnya timur Tengah atau Asia, Eropa, Afrika, Amerika, dan
Australia.
Masing-masing
Islam secara relatif berbeda sesuai sejarah masuk dan berkembangnya Islam di
akawasan tersebut dan siap elite berpengaruh di dalamnya. Terakhir ialah Islam
lokal yang berkembang di suatu daerah seperti di Indonesia dengan sub-sub
daerahnya, seperti Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Papua, dan Nusa
Tenggara, atau Maluku. Masing-masing Islam daerah ini unik dan relatif berbeda
satu dan lainnya. Nah, Islam yang terakhir inilah yang bisa disebut Islam kultural
atau Islam budaya.
Demikian pula
keberislaman seseorang atau sekelompok orang. Oleh karena itu, daripada
menyebut orang lain yangberbeda tradisi praktik keislamannya akan masuk neraka,
mungkin lebih baik sebaliknya sehingga jika itu didengar Allah sebagai sebuah
doa akan lebih indah. Kadang menjadi pengikut Jabariah atau Murjiah itu perlu,
karena pada akhirnya hanya Allah yang menentukan seseorang akan menjadi ahli
surga atau bukan.
Hidup susah
karena miskin, menjadi lebih susah lagijika
saling berebut mengklaim diri ahli surga sembari memasukkan orang lain sebagai
calon ahli neraka. Lebih indah jika bisa maju bersama dari sudut berbeda,
bekerja keras mengelola bumi Tuhan sehingga bisa menjalani hidup lebih maju,
makmur, dan sejahtera. Sekaligus membuktikan bahwa meyakini Islam sebagai
ajaran yang benar, bukan hanya dijamin Allah, melainkan juga bisa hidup
berkecukupan dalam damai bersama seribu keyakinan berbeda.
*) Penulis adalah Guru Besar
Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar