Profil

Kamis, 02 Februari 2012

LA UBALI, GAK PATHEKEN !!!



Waktu berjalan dan terus berjalan, tidak terasa tahun sudah menginjak pada angka 2011, pada tahun ini (seperti dengan tahun yang sudah-sudah) undangan untuk menghadiri pernikahan akan datang silih berganti. Bulan depan sudah mengantri dua undangan yang berbarengan dari rekan kerja, dan mungkin akan segera menyusul rekan yang lain pada bulan-bulan berikutnya.

Tetapi terlepas dari itu, dalam pandanganku urusan menikah adalah suatu urusan yang gampang-gampang susah. Gampang bagi yang cepat mendapatkannya dan susah bagi yang agak lambat mendapatkannya. Dalam hal ini diriku mungkin masuk kategori yang kedua. He..He..

Perintah untuk menikah sudah diwahyukan oleh Allah dalam surat An-Nuur ayat 24 dimana Beliau berfirman: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. Jadi tidak dapat dielakkan lagi bahwa Allah sudah sangat jelas untuk menganjurkan bagi hambaNYA yang sendirian dan yang layak dari golongan hamba-hamba sahaya untuk menikah, dan karenanya Allah akan memampukan mereka dengan karunia-NYA karena Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui.

Ada banyak hal mungkin yang bisa dipetik dari anjuran Allah tersebut, mengingat Beliau-lah yang paling sangat mengetahui kondisi dari para hamba-hambaNYA, mulai dari dapat tersalurkannya naluri seksual dengan cara sah dan terpuji; dapat memelihara dan memperbanyak keturunan dengan terhormat, sehingga dapat menjaga kelestarian hidup umat manusia; tersalurkannya naluri keibuan dan kebapakan dalam kehidupan rumahtangga bersama anak-anak; melatih kemampuan bekerjasama, berbagi tugas dan rasa tanggungjwab; serta terbentuknya tali kekeluargaan dan silaturahmi antar keluarga, sehingga memupuk rasa sosial dan akhirnya dapat membentuk masyarakat yang kuat serta bahagia.

Namun untuk sekarang, bagi saya tidak mudah untuk memutuskan untuk terjun dalam dunia nikah-menikah, tidak tahu kenapa, terasa banyak sekali yang harus dipertimbangkan baik itu intern atau ekstern selalu ada saja yang mesti difikirkan ulang dengan jernih. Tidak tahu kenapa, tapi mungkin karena saya memang sudah ditakdirkan untuk masuk kedalam golongan yang kedua seperti yang tersebut diatas) jadi ya memang akan seperti ini jadinya. Masukan, saran, kritik, pertanyaan, sindiran, tantangan, godaan dari rekan sejawat, atasan, orang tua, saudara, dan lain sebagainya terasa sudah kenyang untuk didengarkan, dirasakan, difikirkan atau apalah lagi namanya. Dalam berbagai kesempatan, sempat terlintas untuk tidak ada salahnya menerobos dari bayang-bayang atau kurungan atas apa yang harus saya pertimbangkan tersebut. Tetapi, mudah ditebak menjalaninya akan terasa seperti setengah-setengah, maju-mundur, dan terkesan hanya menuruti dorongan bahwa kamu sudah saatnya menikah.

Mesti butuh perenungan dan evaluasi yang menyeluruh tentang hal ini. Bagaimanakah sih hakekatnya kita bisa memutuskan untuk menikah??. Seiring bergulirnya waktu, akhirnya bertemulah saya pada titik dimana saya dalam hal ini harus benar-benar menyerahkan pengambilan keputusan ini kepada Allah S.W.T, Tuhannya manusia, karena Beliau-lah yang paling Maha Tahu akan kondisi hambaNYA. Dan saya harus benar-benar memastikan bahwa Beliau-lah yang paling berhak untuk menyuruh saya untuk menikah dan memilihkan siapa yang akan saya nikahi.
Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia; Raja manusia; Sembahan manusia; Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi; yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia; dari (golongan) jin dan manusia. (An-Naas 1-6). Jelas dalam surat tersebut bahwa Beliau-lah sang Raja manusia, yang menguasai manusia dan memelihara manusia dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi ke dalam dada manusia, dan syaitan tersebut bisa dari golongan jin dan manusia. Maka menurut hemat saya, kedepan, segala masukan, saran, kritik, pertanyaan, sindiran, tantangan, godaan dari rekan sejawat, atasan, orang tua, saudara, atau siapapun termasuk keinginan dari diri saya sendiri hukumnya wajib untuk tidak didengarkan. Saya harus dalam keadaan nol, untuk dapat menerima petunjuk dari Yang Maha Kuasa tersebut. Berat memang, tapi apa mau dikata, mau tidak mau harus dijalani. Karena bagi saya petunjuk tersebut akan menjadi sebuah modal yang tidak terhingga dalam mengarungi lautan yang bernama pernikahan.

Demikianlah kiranya, “ijtihad” saya, yang mungkin hanya akan berguna bagi diri saya sendiri, tidak bagi orang lain, karena setiap orang mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lainnya.
Lalu, bagaimana jika ada pertanyaan sampai kapan hal itu terjadi?? Jawabnya unlimited, saya serahkan sepenuhnya kepada Allah. Lah, tar ga kawin-kawin atau malah ga jadi kawin dong?? Jawabnya Gak patheken, karena Nabi pernah memberikan contoh pada saat menjalani peristiwa Perang Badar, sebuah pernyataan yang jenius diajukan kepada Allah ketika dalam kondisi pasukan yang kalah segala-galanya dari pasukan Quraisy yaitu: "Asalkan Engkau tidak marah kepadaku, ya Allah, maka atas segala ketentuan-Mu atas nasib kami di dunia, la ubali, aku tidak peduli." Atau dalam Bahasa Jawanya versi cak Nun: Gak patheken "!".
Dalam hal ini, orang yang berpikir linier, menyangka yang akan terjadi pada dirinya dengan sikap itu adalah nasib buruk di dunia. Insya Allah dia keliru. Sebab justru dengan keikhlasan itu, siklus lingkar keberkahan: engkau memperoleh cinta Allah dan Rasulullah, dan juga akan dijamin kesejahteraanmu, rezeki dan kemenanganmu, sebab dunia dan kehidupan ini milik-Nya. Dan Ia pasti lebih memilih melimpahkan rezeki kepada pencinta-Nya yang tidak membuatnya "cemburu" karena lebih mengutamakan karier dunia dibanding diri-Nya. Mungkin dirasa berlebihan

Demikian kiranya, sebuah pembelaan dari saya, ditengah berbagai desakan untuk segera menikah... J
                                                                                                                                                                                                                                                                    bangjul@gmail.com        Jakarta, 13 Juni 2011


DAFTAR PUSTAKA:
1.      Al Qur’an surat An-Nuur ayat 24 dan An-Naas ayat 1-6;
2.      Nadjib, Emha Ainun. 2008. Jejak Tinju Pak Kiai. Jakarta: Kompas Gramedia.

4 komentar:

  1. Luar biasa Gus Gajuli akhirnya keluar dari kandangnya...nampaknya Gus Gajuli sudah merasa gerah dengan perkembangan dunia IT yang semakin merajalela dan udaah mulai gatal untuk ikut berpartisipasi biar gak patheken...hahahaha...emejingggg

    BalasHapus
  2. ihh..ada cowok ganteng punya blog baru...ihiyyy...muachhh

    BalasHapus