Apakah Anda, Mengapa Anda 1)
Oleh: Mohamad Sobary 2)
Apakah Anda
dengki melihat gula, karena gula bisa menimbulkan sakit kencing manis? Mengapa
Anda tak mengubah pola makan dan olahraga sebagaimana nasihat dokter, sehingga
hidup Anda bebas dari kencing manis, dan dari kedengkian yang justru berbahaya
karena bisa merusak hati dan cara Anda memandang dunia?
Apakah Anda
dengki melihat minyak kelapa, karena minyak kelapa dianggap (oleh penguasa
pasar yang serakah) bisa menimbulkan kolesterol dan membahayakan jantung?
Mengapa Anda tak mencermati kekeliruan fatal dalam pola makan umat anusia,
bahwa kini pola makan bangsa-bangsa Asia, Melanesia, dan Afrika salah karena
mereka ingin tampil “modern” seperti orang Amerika dan mengukuti pola makan
Amerika, sehingga bangsa-bangsa ini sekarang juga banyak mengidap kegemukan dan
sakit jantung seperti orang Amerika? Bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Melanesia
keliru karena mereka meninggalkan tradisi mapan yang diwariskan nenek moyang,
yaitu tidak lagi mengonsumsi kelapa
seperti dahulu kala, dan tak mau minum minyak kelapa untuk kesehatan.
Dalam sejarah
perdagangan kita, kopra kita yang sangat unggul dimanipulasi di pasar Amerika,
dengan label-label menyesatkan: minyak kelapa –minyak tropis—mengandung bahaya
kolesterol. Maka, dagangan minyak olahan kita maupun kopra yang masih mentah,
digasak di pasaran. Padahal minyak kelapa justru bersih dari kolesterol.
Maka kita bisa
kembali ke tradisi sebelumnya, minum apa yang mereka sebut “kolesterol” tadi,
agar kita bebas dari kolesterol. Kini, di dunia akademis kita terbuka lebar
kebenaran, setelah para peneliti menemukan bahwa minum minyak kelapa
murni—artinya minum “kolesterol” tadi, membikin—demi Tuhan—kita bebas dari
kolesterol. Mengapa Anda tidak percaya, nasihat untuk minum VCO, minyak kelapa
murni, itu sebuah kearifan yang datang dari tradisi lama kita sendiri, yang
mengandung hikmah dan kebijaksanaan yang tak terukur dalamnya?
Apakaha Anda
ingin menjadi Si Malin Kundang, yang silau kepada modernitas, dan memuja
obat-obatan bikinan pabrik “modern” sambil melecehkan jamu, dan dengan cepat
menempelkan di punggung jamu itu label ‘tradisional’? Mengapa Anda tak
menyadari bahwa para mahatabib kita, yang membikin jamu-jamu itu, menguasai
pemikiran, seni, dan kemampuan teknis, serta kesadaran makrokosmos yang dalam,
yang jika diberi label, esensinya justru supramodern:
sudah modern di banyak abad sebelum abad ‘modern’ lahir di bumi yang salah,
oleh para pemikir ilmiah yang salah, karena mereka belum bisa belajar menunduk,
supaya kepala-kepala mereka tak terbentur bintang-bintang di langit bikinan
Tuhan, yang ilmu-ilmu-NYA mahadalam, dan tak habis dikaji dengan menggunakan
air laut di seluruh permukaan bummi, ditambah tujuh kali jumlah itu sebagai
tintanya, dibantu pohon-pohon di hutan-hutan di seluruh dunia, ditambah tujuh
kali jumlah itu sebagai penanya, tapi ilmu Tuhan belum lagi akan habis
tertulis?
Megapa mereka
berani melecehkan karya para mahatabib Indonesia, yang dengan khidmat dan
mendalam, juga menyerap—betatapun terbatasnya—kearifan dan ilmu-ilmu Tuhan,
yang mahahalus dan mahadalam, yang tak mungkin habis ditulis manusia, hingga
kerika bumi dan seluruh planet dalam tata surya ini digulung lagi dan
digenggam-NYA?
Apakah Anda
mendengki garam, karena garam bisa membuat darah tinggimu lebih buruk, dan
karena itu kau, Menteri, mengimpor garam Australia, yang membuat kau memperoleh
persenan dalam jumlah sangat besar dan membuatmu menjadi semakin kaya, tanpa
menimbang derita para pembuat garam di sepanjang pantai di negeri kita yang menjadi
penganggur tak bermartabat sebagai manusia? Mengapa kau tak belajar dari Gandhi, yang dengan garam bisa memompa
kemandirian bangsanya, sehingga India yang terjajah tak mau lagi mengonsumsi garam
bikinan negeri penjajah, karena sesungguhnya hanya mudah bagi rakyat untu
membikin garam dari pantai-pantai di negeri India sendiri? Mengapa garam rakyat
kita sendiri kau bikin mati karena kebijakan
perdagangan yang lebih membela kepentingan asing, dan dirimu sendiri?
Mengapa
kebijakan pemerintah kita sendiri justru menjadi instrumen penjajahan, dan
membikin bangsa kita menjadi kere di tengah para kere dunia, padahal kita punya
pantai-pantai terpanjang, yang tak dimiliki bangsa lain, dan di sanalah
‘tambang’ garam yang tak pernah habis itu tersedia? Negeri garam, mengapa
mengimpr garam?
Mengapa
kebijakan yang mengkhianati konstitusi seperti ini, di negeri ini tak dianggap
tindakan yang bersiat ‘mencuri’? Kentang kita lebih baik dari kentang mana pun,
tapi mengapa kau mengimpor kentang negeri asing, dan membikin kaya bangsa
asing? Jeruk, jambu, kelengkeng, mangga, pepaya, apa kurangnya di negeri kita,
hingga kita harus mengimpor, dan kebijakan itu membikin para petani buah kita
merana?
Apa penyakit
yang kita idap? Kehilangan rasa kebangsaan, kehilangan rasa kemanusiaan atau
kebanyakan watak serakah, yang membuat kita tak peduli bangsa kita mati?
Apakah Anda
mendengki asap rokok, yang mengandung radikal bebeas yang berbahaya, tapi tak
peduli terhadap asap pabrik-pabrik dan asap motor dan mobil-bobil yang meyergap
hidung Anda secara langsung, padahal emisi kendaraan bermotor juga – bahkan
lebih—membawa dengan gembira bibit kanker di perut, di usus, di kandungan, di
payudara, dan di mana saja mereka hinggap?
Mengapa Anda
mendengki asap rokok yang mengandung bahaya bagi kesehatan nafas kita, tapi
diam seribu bahasa terhadap narkotika dan obat-obat terlarang lainnya, yang
sering mendadak sontak menimbulkan kematian, atau membikin tolol, koplo, yang
begitu luas konsumennya, dan jelas mengancam kelangsungan hidup bangsa kita?
Mengapa Anda
tak bisa bersikap agak dingin, dan agak adil terhadp kedua fenomena itu?
Mengapa sikap patriotik Anda untuk menjaga kesehatan sesama manusia dan
kesehatan masyarakat pada umunya sedemikian berat sebelah, tanpa peduli akan
kenyataan bahwa di tingkat perdagangan dunia, semangat mematikan kretek kita
–untuk dikuasai dan dimiliki orang-orang serakah—begitu tinggi? Seperti
pengalaman minyak dan kopra kita, dan banyak mata dagangan kita yang kini sudah
hancu luluh, tapi berkembang, jaya, dan membikin kaya raya bangsa lain yang sudah
kaya?
Dalam sekitar
lima tahun terakhir ini, mereka yang anti kretek dan mereka yang membela kretek
maupun tembakau, bagaikan dua kubu yang siap saling mengganyang. Padahal,
andaikata masing-masing bisa memenangkan kepentingannya, misalnya golongan
anti-kretek menang, itu pun akhirnya hanya akan membukakan peluang bagi
monopoli kretek di tangan bangsa asing, yang licik, yang sudah lebih duapuluh
tahun mengincar mata dagangan itu untuk dimiliki sendiri dan dimonopoli di tingkat
dunia, demi keserakahan yang tak terbatas. Mereka telah sejak lama melakukan
lobi di mana-mana, dan tak enggan mengeluarkan dana besar demi mematikan kretek
kita, dan mebiayai siapa saja yang bisa membantu mereka mencekik kretek ini
agar mudah mereka kuasai.
Dimensi
politik ekonomi ini mustahil tak kita ketahui. Ini menjadi ancaman bagi harga
diri kita, bagi warisan kebudayaan kita. Mustahl kita tak mahu bahwa di balik
ini terletak duit konkret, yang bisa kita pakai di dalam negeri, untuk
kesejahteraan sesama bangsa kita. Mengapa pemerintah culas, menggunakan uang
cukai rokok dan cengkeh yang besar itu untuk membunuh tanaman tembakau milik
rakyat yang harus dilindungi pemerintah? Dan ketika pemerintah selingkuh dari
tanggung jawab seperti ini, mengapa kita, golongan terpelajar, diam seribu
bahasa terhadap penderitaan petani tembakau, yang adalah bangsa kita juga?
Kita ini
bangsa Indonesia, dan warga negara Indonesia. Kita taat aturan. Kita taat pada
apa yang dianggap baik bagi seluruh bangsa. Diadakannya auran mengenai temapt
merokok itu baik bagi kesehatan dan kita terima dengan tangan terbuka. Kita
butuh sehat. Kita butuh hidup lebih lama. Tapi marilah aturan itu kita bikin
sendiri. Jangan hendaknya aturan itu dibikinkan bangsa lain, demi agenda lain
yang lebih besar, dan demi mencekik kita. Duit sogokan asing itu hanya benda,
yang mematikan jiwa kita, dan kebebasan kita untuk hidup bermasyakarat dan
berbangsa. Duit itu tak akan selamanya ada di tangan kita. Kembalikan jiwa kita
dan kebebasan kita dari pengaruh asing, apa pun wujudnya.
Dua kubu yang
terdiri dari rata-rata orang terpelajar dan anggota kelas menengah, mungkin
bahkan menengah atas di masyarakat kita, mengapa begitu gigih untuk mengalahkan
yang lain, untuk pada akhirnya tak mendapatkan apa-apa, kecuali: kita biarkan
pemerintah kita didikte bangsa asing, dan kehilangan kemandirian, karena setiap
langkah perundangan dan aturan yang
dibuat, kiblatnya adalah kepentingan bangsa asing.
Mengapa kita
tak merasa malu mengaku sebagai bangsa yang merdeka, dari sebuah negara
merdeka? Satu dari dua kubu ini mungkin merasa tidak enak bila kalah. Mungkin
kalah akan membuat mereka malu. Tapi mengapa Anda tak ingat Puntadewa, yang tak
mau menang dalam Bharatayudha, bila untuk menang syaratnya harus rela culas, tidak jujur, dan tidak tulus
terhadap kehidupan, dan lebih penting, tidak tulus pada diri sendiri? Di mana
‘barang’ bernama Si Tulus itu selama ini?
Mungkin kita tak
akan lupa, kita bisa bohong pada orang lain. Tapi mengapa kita mau mencoba
lupa, bahwa kita tak bisa bohong pada
diri sendiri?
1)
Judul Epilog dalam Buku “Membunuh
Indonesia, Konspirasi Global Penghancuran Kretek”
2)
Penulis adalah Budayawan dan mantan Kepala
LKBN Antara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar