Profil

Senin, 05 Maret 2012

Apakah Anda, Mengapa Anda



Apakah Anda, Mengapa Anda 1)
Oleh: Mohamad Sobary 2)


Apakah Anda dengki melihat gula, karena gula bisa menimbulkan sakit kencing manis? Mengapa Anda tak mengubah pola makan dan olahraga sebagaimana nasihat dokter, sehingga hidup Anda bebas dari kencing manis, dan dari kedengkian yang justru berbahaya karena bisa merusak hati dan cara Anda memandang dunia?
Apakah Anda dengki melihat minyak kelapa, karena minyak kelapa dianggap (oleh penguasa pasar yang serakah) bisa menimbulkan kolesterol dan membahayakan jantung? Mengapa Anda tak mencermati kekeliruan fatal dalam pola makan umat anusia, bahwa kini pola makan bangsa-bangsa Asia, Melanesia, dan Afrika salah karena mereka ingin tampil “modern” seperti orang Amerika dan mengukuti pola makan Amerika, sehingga bangsa-bangsa ini sekarang juga banyak mengidap kegemukan dan sakit jantung seperti orang Amerika? Bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Melanesia keliru karena mereka meninggalkan tradisi mapan yang diwariskan nenek moyang, yaitu tidak lagi mengonsumsi kelapa seperti dahulu kala, dan tak mau minum minyak kelapa untuk kesehatan.
Dalam sejarah perdagangan kita, kopra kita yang sangat unggul dimanipulasi di pasar Amerika, dengan label-label menyesatkan: minyak kelapa –minyak tropis—mengandung bahaya kolesterol. Maka, dagangan minyak olahan kita maupun kopra yang masih mentah, digasak di pasaran. Padahal minyak kelapa justru bersih dari kolesterol.
Maka kita bisa kembali ke tradisi sebelumnya, minum apa yang mereka sebut “kolesterol” tadi, agar kita bebas dari kolesterol. Kini, di dunia akademis kita terbuka lebar kebenaran, setelah para peneliti menemukan bahwa minum minyak kelapa murni—artinya minum “kolesterol” tadi, membikin—demi Tuhan—kita bebas dari kolesterol. Mengapa Anda tidak percaya, nasihat untuk minum VCO, minyak kelapa murni, itu sebuah kearifan yang datang dari tradisi lama kita sendiri, yang mengandung hikmah dan kebijaksanaan yang tak terukur dalamnya?
Apakaha Anda ingin menjadi Si Malin Kundang, yang silau kepada modernitas, dan memuja obat-obatan bikinan pabrik “modern” sambil melecehkan jamu, dan dengan cepat menempelkan di punggung jamu itu label ‘tradisional’? Mengapa Anda tak menyadari bahwa para mahatabib kita, yang membikin jamu-jamu itu, menguasai pemikiran, seni, dan kemampuan teknis, serta kesadaran makrokosmos yang dalam, yang jika diberi label, esensinya justru supramodern: sudah modern di banyak abad sebelum abad ‘modern’ lahir di bumi yang salah, oleh para pemikir ilmiah yang salah, karena mereka belum bisa belajar menunduk, supaya kepala-kepala mereka tak terbentur bintang-bintang di langit bikinan Tuhan, yang ilmu-ilmu-NYA mahadalam, dan tak habis dikaji dengan menggunakan air laut di seluruh permukaan bummi, ditambah tujuh kali jumlah itu sebagai tintanya, dibantu pohon-pohon di hutan-hutan di seluruh dunia, ditambah tujuh kali jumlah itu sebagai penanya, tapi ilmu Tuhan belum lagi akan habis tertulis?
Megapa mereka berani melecehkan karya para mahatabib Indonesia, yang dengan khidmat dan mendalam, juga menyerap—betatapun terbatasnya—kearifan dan ilmu-ilmu Tuhan, yang mahahalus dan mahadalam, yang tak mungkin habis ditulis manusia, hingga kerika bumi dan seluruh planet dalam tata surya ini digulung lagi dan digenggam-NYA?
Apakah Anda mendengki garam, karena garam bisa membuat darah tinggimu lebih buruk, dan karena itu kau, Menteri, mengimpor garam Australia, yang membuat kau memperoleh persenan dalam jumlah sangat besar dan membuatmu menjadi semakin kaya, tanpa menimbang derita para pembuat garam di sepanjang pantai di negeri kita yang menjadi penganggur tak bermartabat sebagai manusia? Mengapa kau tak belajar  dari Gandhi, yang dengan garam bisa memompa kemandirian bangsanya, sehingga India yang terjajah tak mau lagi mengonsumsi garam bikinan negeri penjajah, karena sesungguhnya hanya mudah bagi rakyat untu membikin garam dari pantai-pantai di negeri India sendiri? Mengapa garam rakyat kita sendiri kau bikin mati  karena kebijakan perdagangan yang lebih membela kepentingan asing, dan dirimu sendiri?
Mengapa kebijakan pemerintah kita sendiri justru menjadi instrumen penjajahan, dan membikin bangsa kita menjadi kere di tengah para kere dunia, padahal kita punya pantai-pantai terpanjang, yang tak dimiliki bangsa lain, dan di sanalah ‘tambang’ garam yang tak pernah habis itu tersedia? Negeri garam, mengapa mengimpr garam?
Mengapa kebijakan yang mengkhianati konstitusi seperti ini, di negeri ini tak dianggap tindakan yang bersiat ‘mencuri’? Kentang kita lebih baik dari kentang mana pun, tapi mengapa kau mengimpor kentang negeri asing, dan membikin kaya bangsa asing? Jeruk, jambu, kelengkeng, mangga, pepaya, apa kurangnya di negeri kita, hingga kita harus mengimpor, dan kebijakan itu membikin para petani buah kita merana?
Apa penyakit yang kita idap? Kehilangan rasa kebangsaan, kehilangan rasa kemanusiaan atau kebanyakan watak serakah, yang membuat kita tak peduli bangsa kita mati?
Apakah Anda mendengki asap rokok, yang mengandung radikal bebeas yang berbahaya, tapi tak peduli terhadap asap pabrik-pabrik dan asap motor dan mobil-bobil yang meyergap hidung Anda secara langsung, padahal emisi kendaraan bermotor juga – bahkan lebih—membawa dengan gembira bibit kanker di perut, di usus, di kandungan, di payudara, dan di mana saja mereka hinggap?
Mengapa Anda mendengki asap rokok yang mengandung bahaya bagi kesehatan nafas kita, tapi diam seribu bahasa terhadap narkotika dan obat-obat terlarang lainnya, yang sering mendadak sontak menimbulkan kematian, atau membikin tolol, koplo, yang begitu luas konsumennya, dan jelas mengancam kelangsungan hidup bangsa kita?
Mengapa Anda tak bisa bersikap agak dingin, dan agak adil terhadp kedua fenomena itu? Mengapa sikap patriotik Anda untuk menjaga kesehatan sesama manusia dan kesehatan masyarakat pada umunya sedemikian berat sebelah, tanpa peduli akan kenyataan bahwa di tingkat perdagangan dunia, semangat mematikan kretek kita –untuk dikuasai dan dimiliki orang-orang serakah—begitu tinggi? Seperti pengalaman minyak dan kopra kita, dan banyak mata dagangan kita yang kini sudah hancu luluh, tapi berkembang, jaya, dan membikin kaya raya bangsa lain yang sudah kaya?
Dalam sekitar lima tahun terakhir ini, mereka yang anti kretek dan mereka yang membela kretek maupun tembakau, bagaikan dua kubu yang siap saling mengganyang. Padahal, andaikata masing-masing bisa memenangkan kepentingannya, misalnya golongan anti-kretek menang, itu pun akhirnya hanya akan membukakan peluang bagi monopoli kretek di tangan bangsa asing, yang licik, yang sudah lebih duapuluh tahun mengincar mata dagangan itu untuk dimiliki sendiri dan dimonopoli di tingkat dunia, demi keserakahan yang tak terbatas. Mereka telah sejak lama melakukan lobi di mana-mana, dan tak enggan mengeluarkan dana besar demi mematikan kretek kita, dan mebiayai siapa saja yang bisa membantu mereka mencekik kretek ini agar mudah mereka kuasai.
Dimensi politik ekonomi ini mustahil tak kita ketahui. Ini menjadi ancaman bagi harga diri kita, bagi warisan kebudayaan kita. Mustahl kita tak mahu bahwa di balik ini terletak duit konkret, yang bisa kita pakai di dalam negeri, untuk kesejahteraan sesama bangsa kita. Mengapa pemerintah culas, menggunakan uang cukai rokok dan cengkeh yang besar itu untuk membunuh tanaman tembakau milik rakyat yang harus dilindungi pemerintah? Dan ketika pemerintah selingkuh dari tanggung jawab seperti ini, mengapa kita, golongan terpelajar, diam seribu bahasa terhadap penderitaan petani tembakau, yang adalah bangsa kita juga?
Kita ini bangsa Indonesia, dan warga negara Indonesia. Kita taat aturan. Kita taat pada apa yang dianggap baik bagi seluruh bangsa. Diadakannya auran mengenai temapt merokok itu baik bagi kesehatan dan kita terima dengan tangan terbuka. Kita butuh sehat. Kita butuh hidup lebih lama. Tapi marilah aturan itu kita bikin sendiri. Jangan hendaknya aturan itu dibikinkan bangsa lain, demi agenda lain yang lebih besar, dan demi mencekik kita. Duit sogokan asing itu hanya benda, yang mematikan jiwa kita, dan kebebasan kita untuk hidup bermasyakarat dan berbangsa. Duit itu tak akan selamanya ada di tangan kita. Kembalikan jiwa kita dan kebebasan kita dari pengaruh asing, apa pun wujudnya.
Dua kubu yang terdiri dari rata-rata orang terpelajar dan anggota kelas menengah, mungkin bahkan menengah atas di masyarakat kita, mengapa begitu gigih untuk mengalahkan yang lain, untuk pada akhirnya tak mendapatkan apa-apa, kecuali: kita biarkan pemerintah kita didikte bangsa asing, dan kehilangan kemandirian, karena setiap langkah perundangan dan aturan yang  dibuat, kiblatnya adalah kepentingan bangsa asing.
Mengapa kita tak merasa malu mengaku sebagai bangsa yang merdeka, dari sebuah negara merdeka? Satu dari dua kubu ini mungkin merasa tidak enak bila kalah. Mungkin kalah akan membuat mereka malu. Tapi mengapa Anda tak ingat Puntadewa, yang tak mau menang dalam Bharatayudha, bila untuk menang syaratnya harus rela culas, tidak jujur, dan tidak tulus terhadap kehidupan, dan lebih penting, tidak tulus pada diri sendiri? Di mana ‘barang’ bernama Si Tulus itu selama ini?
Mungkin kita tak akan lupa, kita bisa bohong pada orang lain. Tapi mengapa kita mau mencoba lupa,  bahwa kita tak bisa bohong pada diri sendiri?

1)                Judul Epilog dalam Buku “Membunuh Indonesia, Konspirasi Global Penghancuran Kretek”
2)                Penulis adalah Budayawan dan mantan Kepala LKBN Antara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar