Profil

Kamis, 15 Maret 2012

Menjadi Muslim-Indonesia; Inspirasi dari Pemikiran Gus Dur



oleh: Marzuki Wahid
Hari ini, Jum’at (30/12/2011), haul kedua Gus Dur—panggilan legendaris KH Dr. Abdurrahman Wahid. Haul adalah ajaran budaya untuk memperingati, mengenang, dan meneladani kebaikan, serta mendoakan orang yang sudah meninggal dunia. “Aku hanya pulang, bukan pergi,” kata Gus Dur suatu waktu.  Benar adanya, semangat, gagasan, dan gerakan Gus Dur tidak pergi, masih terus hadir hingga hari ini. Satu di antaranya adalah gagasan “menjadi muslim-indonesia” yang hendak diungkap dalam tulisan ini.
Islam-Arab versus Islam-Indonesia
Tiga dekade yang lalu, Almaghfurlah Gus Dur pernah melontarkan satu pertanyaan menggelitik, “Kita ini sebetulnya orang Islam yang (kebetulan) hidup di Indonesia ataukah orang Indonesia yang (kebetulan) beragama Islam?” Pertanyaan ini sepintas tidak problematik, tetapi jika dibaca pelan-pelan dengan kecermatan yang tajam, maka termuat dua paradigma yang bertolak belakang dalam mengimplementasikan Islam di bumi Nusantara ini.
Mencermati model pertanyaanya, tentu saja asumsi dasar pertanyaan ini membedakan ”keislaman” dan ”keindonesiaan” sebagai dua entitas yang independen, tak berhubungan satu sama lain: originalitas Indonesia menurut Agus Sunyoto adalah kapitayan—bukan animisme dan dinamisme—dengan ragam kebudayaan yang melikupinya. Sementara originalitas Islam adalah Arab dengan ragam kebudayaan yang menyertainya.
Pertanyaan ini dilontarkan Gus Dur ketika sebagian orang Islam di Indonesia marak menggunakan identitas ke-Arab-an untuk meneguhkan identitas dirinya sebagai orang Islam. Dengan identitas itu, dalam benak mereka, seolah-olah Islam itu Arab dan Arab itu Islam. Untuk menjadi Muslim, seseorang harus menggunakan identitas Arab atau melebur seperti orang Arab, mulai dari cara berbicara yang ke-arab-arab-an, berjenggot dan berjambang lebat, berpakaian jubah, abaya hitam-hitam bercadar, atau seperti pakaian orang Afghanistan, hingga cara makan dan apa yang dimakan oleh orang Arab pun dijadikan model keislaman.
Muslim yang berblangkon (peci khas Jawa, Cirebon), bersarung, masih menggunakan kemenyan dan dupa dalam sebagian aktivitasnya, senang berziyarah kubur, memperingati tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari atau setahun (haul) dari kematian leluhurnya dianggap tidak lebih-saleh dan tidak lebih-Islam ketimbang mereka yang serba-Arab itu. Karena semua itu dianggap bukan Islam, tapi tahayyul, bid’ah, dan churafat (dulu dikenal TBC). Keislaman kelompok ini disebut Islam sinkretis, yakni Islam campuran antara ”Islam-murni” dengan budaya lokal setempat.
Islam-murni (puritan) bagi mereka adalah Islam sebagaimana dijalankan Rasulullah SAW selama hidupnya di Arab pada abad ketujuh Masehi di padang pasir, yang belum mengenal teknologi secanggih hari ini. Demi menjaga kemurnian ajaran Islam, penganut Islam di manapun berada diharuskan meniru dan mengikuti ”Islam masa Rasulullah” dengan keseluruhan budaya dan tradisi kearabannya.
Jika model Islam ini yang diikuti, maka yang terjadi adalah arabisasi, pengaraban dunia. Jika Islam adalah arabisasi, maka Islam tentu bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis (sebab kata ”Arab” adalah konsep politik). Jika Islam bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis, maka tentu bertentangan dengan misi utama Islam sendiri sebagai rahmatan lil ’alamin, menebarkan cinta-kasih kepada seluruh umat manusia di dunia dan segala ciptaan Tuhan di alam semesta.
Selain itu, adalah imposible mempraktikkan Islam-murni pada saat sekarang dan di tempat yang sama sekali berbeda dengan budaya Arab. Kebudayaan Arab sendiri dan sejumlah tempat ibadah yang yang disucikan umat Islam di Arab, seperti ka’bah, masjidil haram, tempat sa’i, padang Arafah, Mina, Muzdalifah, dan lain-lain kini telah mengalami perubahan secara signifikan ketimbang masa Rasulullah dulu karena perkembangan teknologi dan kebutuhan manusia sekarang.
Inilah keresahan Gus Dur melalui pertanyaan kritisnya yang saya kutip di atas.
Islam-serba Arab itulah paradigma “orang Islam yang (kebetulan) hidup di Indonesia”.  Identitas dasarnya adalah Islam (yang dalam pandangan mereka adalah Arabisme). Untuk menjadi Islam, Indonesia dengan seluruh kebudayaannya harus di-arab-kan. Jika Indonesia tidak bisa diarabkan, maka mereka membuat identitas keislaman sendiri secara eksklusif di dalam sistem kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia disebutnya bid’ah (bukan bagian dari ajaran Islam) dan semua bid’ah adalah menyimpang dan sesat. Paradigma ini tentu cenderung eksklusif dalam kebudayaan Indonesia, bahkan dalam banyak hal terjadi konflik kebudayaan.
Kebalikan dari cara pandang di atas adalah paradigma ”orang Indonesia yang (kebetulan) beragama Islam”. Paradigma ini memandang Islam bukan Arab, melainkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran universal  kemanusiaan, keadilan, kemaslahatan, kerahmatan, kesetaraan, dan persaudaraan yang dilandasi wahyu ketuhanan dan tauhid. Ajaran-ajaran dan nilai-nilai ini dapat diterapkan di mana dan kapan saja. Selain ibadah, semuanya dapat dilakukan sesuai dengan budaya setempat. Islam dalam paradigma ini sangat mengapresiasi kebudayaan lokal, bahkan berpendapat bahwa al-’âdatu muhakkamah (adat/tradisi dapat dijadikan hukum). Menjadi Muslim, tidak harus Arab. Dengan budaya lokal sekalipun, seseorang bisa menjadi Muslim sejati.
Di Bayan Lombok Barat, misalnya, terdapat pergumulan yang intensif antara Islam dengan kebudayaan setempat, yang tercermin dalam komunitas Wetu Telu. Tanpa harus menjadi Arab dan tanpa meninggalkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam yang universal itu, seseorang bisa mengamalkan ajaran Islam dengan baik. Islam Wetu Telu adalah potret Islam lokal yang bertahan dengan keaslian dan ”kejujuran”nya.
Keberadaannya bukan tanpa hambatan dan ancaman. Cercaan dan stigma ”sesat”, ”menyimpang”, ”sinkretis”, ”belum sempurna”, dan sejenisnya biasa dilekatkan oleh kelompok Islam lain yang merasa sempurna dan lebih benar, Islam Waktu Lima. Lagi-lagi, ini adalah pergulatan klaim kebenaran yang biasa terjadi sepanjang sejarah antara kalangan tekstualis dengan kontekstualis, konservatif dengan inovatif, arabis dengan kultural, dan varian-varian Islam lain.
Dengan demikian, Islam memang universal. Dalam universalitasnya, Islam dapat dipraktikkan dan diwujudkan dalam setiap kebudayaan di belahan dunia. Universalitas Islam terletak kepada nilai-nilai dasar ketuhanan, kenabian, kemanusiaan, keadilan, kerahmatan, kebaikan, dan kasih sayang, beserta prinsip-prinsip dasar pengembangannya. Ekspresi Islam dalam kehidupan nyata tentu bergantung pada lanskap sosiologis dan kultural di mana Islam dipraktikkan. Indonesia—dengan segala karakteristik kebudayaan dan keberislamannya--sesungguhnya telah dapat menjadi varian Islam sendiri di dunia, yakni Islam-Indonesia, tanpa harus menjadi Arab, Timur Tengah, Barat, atau Eropa.
Realitas yang lain
INDONESIA adalah negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dengan jumlah penduduk yang banyak dan wilayah yang luas, Indonesia juga bisa jadi negeri pemilik mesjid dan pendidikan Islam terbanyak di dunia—mulai dari pendidikan anak usia dini, pesantren, hingga pendidikan tinggi. Setiap tahun, Indonesia adalah penyumbang jama’ah haji dan umrah terbanyak di negeri kelahiran Rasulullah SAW. Meski tidak secara terang-terangan menyebut diri negara Islam, tetapi dalam setiap perhelatan negara-negara Islam di dunia, suara Indonesia selalu diperhitungkan.
Dengan sejumlah catatan buruk kasus-kasus kekerasan atas nama agama yang terjadi akhir-akhir ini, terutama menyangkut pembatasan hak, pelarangan, pengusiran, pembakaran, hingga pembunuhan atas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), aliran-aliran yang dituduh sesat, dan Gereja-gereja di berbagai daerah,  Indonesia masih dikenal sebagai negara yang mampu menerapkan toleransi beragama dan kerukunan kehidupan umat beragama terbaik dibanding dengan negara-negara muslim lainnya. Muslim Indonesia pun konon memiliki karakter yang khas, terutama dalam pergumulannya dengan kebudayaan lokal Nusantara. Meski Islam lahir di Arab, tetapi dalam kenyataannya Islam dapat tumbuh kembang dan bahkan sangat berpengaruh di bumi Nusantara yang sebelumnya diwarnai animisme dan dinamisme.
Indonesia pun secara sadar tidak menggunakan label Islam dalam struktur dan sistem kenegaraannya. Meskipun dengan dasar Pancasila dan UUD 1945, tetapi aturan-aturan kenegaraan dan peraturan perundang-undangannya tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sejalan dengan misi Islam untuk mewujudkan keadilan, kedamaian, dan kemaslahatan. Di dalam Istana Presiden Indonesia di Jakarta terdapat MasjidBaiturrahim, di sampingnya ada Masjid Istiqlal, masjid nasional yang dikelola oleh Pemerintah. Begitu juga di hampir seluruh Kantor Gubernur dan Bupati se-Indonesia, di depan atau di sampingnya selalu terdapat Masjid Agung yang dikelola oleh Pemerintah.
Itulah “Islam Indonesia”, “Islam ala Indonesia”. Saya memilah dan membedakan terma “Islam Indonesia” dan “Islam di Indonesia.” Sekilas tidak terdapat perbedaan, tetapi secara paradigmatik memiliki implikasi yang jauh. Yang digambarkan di atas adalah “Islam Indonesia”, Islam khas Indonesia, Islam berkarakter Indonesia, dan Islam yang menyatu dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, tanpa bermaksud menundukkan dan menggantikannya menjadi Islam versi Arab. “Islam Indonesia” adalah Islam berbaju kebudayaan Indonesia, Islam bernalar Nusantara, Islam yang menghargai pluralitas, Islam yang ramah kebudayaan lokal, dan sejenisnya. “Islam Indonesia” bukan foto copy Islam Arab, bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan flagiasi Islam Barat, dan bukan pula duplikasi Islam Eropa. “Islam Indonesia” adalah semua Islam itu yang tersaring ke dalam keindonesiaan.
Berbeda dengan itu, “Islam di Indonesia” memberikan pengertian bahwa Indonesia hanya sebagai lokus persinggahan dari Islam. Filosofi, logika, nalar, budaya, simbol, bahasa, dan tata cara pergaulan semuanya diadopsi, difoto copy, dicangkok, diduplikasi, dan diflagiasi secara sempurna dari Islam Arab. Asumsi paradigma ”Islam di Indonesia” adalah bahwa Islam itu Arab dengan seluruh darah daging kebudayaannya, sejak kelahiran hingga perkembangan dewasa ini. Di Indonesia, Islam hanya numpang, singgah, dan menjadi ”orang lain” yang--apabila bisa akan--menguasai Indonesia. Indonesia harus diislamkan, artinya diubah dan diganti dengan Islam Arab atau pseudo-Arab: menjadi negara Islam, secara simbolik menyebut Syari’at Islam, berbahasa Arab atau kearab-araban, pakaian kearab-araban, dan sejenisnya. Islam model ini tidak ramah dengan kebudayaan lokal, malah cenderung memusuhinya.
Pilar Islam Indonesia
Di balik ”Islam Indonesia” atau ”Islam di Indonesia” terdapat pilar keislaman yang sangat kuat di Indonesia.  Tanpa pilar ini, Islam tidak akan berkembang di bumi Indonesia. Pilar-pilar itu adalah organisasi-organisasi Islam yang sejak kelahirannya hingga sekarang terus berjuang dengan caranya sendiri untuk mewujudkan Islam di bumi Nusantara. Organisasi-organisasi ini memiliki akar jama’ah yang sangat kuat di bawah, yang secara sosiologis berbeda satu sama lain. Mereka juga memiliki rasion d’etre sendiri atas kehadirannya di Indonesia, mempunyai aset keagamaan, memiliki infrastruktur sampai ke desa, dan yang terpenting mereka menggunakan nalar yang berbeda satu sama lain dalam memahami sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan Hadis.
Organisasi-organisasi Islam sejenis ini di Indonesia sangat banyak. Di antaranya adalah Persyarikatan Muhamadiyyah, Al Irsyad, Persis, Nahdlatul Ulama, al-Washliyyah, Perti, Darud Da’wah wal Irsyad, Nahdlatul Wathan, Mathla’ul Anwar, dan lain-lain. Organisasi-organisasi Islam ini adalah bagian dari peradaban dan kekayaan intelektual “Islam Indonesia.” Inilah Islam Nusantara yang membentuk kepribadian masyarakat Indonesia yang secara umum sangat toleran, dapat hidup rukun dengan agama-agama lain, menerima dasar negara Pancasila, menghargai kebudayaan lokal dan kebhinekaan, dan memiliki ikatan sosial yang sangat kuat.
Munculnya isu terorisme, “Islam garis keras”, “Islam ekstrim”, dan “Islam fundamentalis”, yang merongrong dasar negara Pancasila, menggunakan kekerasan dalam menegakkan Syari’at Islam, menyuarakan negara Islam dan khilafah Islamiyah secara simbolik, sesungguhnya bukan produksi asli Islam-Indonesia.  Itu adalah gerakan Islam transnasional yang diimpor dari negara-negara Timur Tengah.  Gejala ini muncul sepuluh tahun terakhir saja, setelah rezim Orde Baru tumbang.
Gerakan Islam transnasional ini sesungguhnya tidak memperoleh dukungan kuat dari mayoritas Muslim Indonesia. Hanya saja, karena suara mereka nyaring dan keras, sehingga memperoleh perhatian media massa dan membuat ketakutan sebagian pemerintah, politisi, dan aparat negara lainnya. Atas ketakutan ini, seolah-olah mereka memperoleh dukungan politik.
Negara Pancasila
Gus Dur adalah tokoh Muslim terdepan yang menentang negara Islam simbolik di Indonesia. Gus Dur memandang bahwa Pancasila adalah kompromi politik yang memungkinkan semua orang Indonesia hidup bersama-sama dalam sebuah negara kesatuan nasional Indonesia. Menurutnya, tanpa Pancasila, Indonesia akan berhenti sebagai negara. Douglas E. Ramage mencatat bahwa penafsiran Gus Dur dan rujukannya yang sering pada Pancasila erat kaitannya dengan peranannya sebagai ulama-pesantren, yang memiliki komitmen kuat pada pluralisme dan nilai-nilai inti demokrasi.
Telah lama ia berpendapat bahwa umat Islam harus berpegang pada Pancasila. Ia memahami Pancasila sebagai syarat bagi demokratisasi dan perkembangan Islam spiritual yang sehat dalam konteks nasional. Di matanya, Indonesia adalah sebuah negara yang didasarkan pada konsensus dan kompromi dan kompromi itu inheren dalam Pancasila. Dengan penuh keyakinan, Gus Dur berpendapat bahwa pemerintahan yang berideologi Pancasila, termasuk negara damai (dar al-shulh) yang harus dipertahankan. Menurutnya, hal ini adalah cara yang paling realistik secara politik jika dilihat dari pluralitas agama di Indonesia.
Lebih jauh, bagi Gus Dur, hal ini sepenuhnya konsisten dengan doktrin keagamaan Islam yang tidak memiliki perintah mutlak untuk mendirikan negara Islam. Islam tandas Gus Dur tidak mengenal sistem pemerintahan yang definitive dan baku. Dalam persoalan yang paling pokok, misalnya suksesi kekuasaan, ternyata Islam tidak memiliki sistem yang baku; terkadang memakai istikhlâfbai’at dan ahl al-hall wa al-‘aqdi (sistem formatur). Padahal, dalam pandangan Gus Dur, soal suksesi adalah soal yang cukup urgen dalam masalah kenegaraan. “Kalau memang Islam punya sistem, tentu tidak terjadi demikian”.
Tidak adanya bentuk baku sebuah negara dan proses pemindahan kekuasaan dalam bentuk baku yang ditinggalkan Rasulullah, baik melalui ayat al-Qur`an maupun al-Hadits, membuat perubahan historis atas bangunan negara yang ada menjadi tidak terelakkan dan tercegah lagi. Dengan demikian, maka kesepakatan akan bentuk negara tidak bisa lagi dilandaskan pada dalil naqli, melainkan pada kebutuhan masyarakat pada suatu waktu.
Inilah yang menyebabkan mengapa hanya sedikit sekali Islam berbicara tentang bentuk negara. Menurutnya, Islam memang sengaja tidak mengatur konsep kenegaraan. Yang ada dalam Islam hanyalah komunitas agama (kuntum khaira ummatin ukhrijat li al-nâs). Jadi, yang ada khaira ummatin bukan khaira dawlatin, apalagi khaira mamlakatin, kilahnya.
Filsafat politik yang mendasari pemikiran Gus Dur adalah bagaimana mengkombinasikan kesalehan Islam dengan apa yang disebutnya komitmen kemanusiaan. Baginya, nilai itu bisa digunakan sebagai dasar bagi penyelesaian tuntas persoalan utama kiprah politik umat, yakni posisi komunitas Islam pada sebuah masyarakat modern dan pluralistik Indonesia. Humanitarianisme Islam pada intinya menghargai sikap toleran dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap kerukunan sosial. Dari kedua elemen asasi inilah sebuah modus keberadaan politik komunitas Islam negeri ini harus diupayakan.
Cita ideal yang diperjuangkan Gus Dur secara konsisten adalah komitmen terhadap sebuah tatanan politik nasional yang dihasilkan oleh proklamasi kemerdekaan. Bahwa, semua warga negara memiliki derajat yang sama tanpa memandang asal-usul agama, ras, etnis, bahasa dan jenis kelamin. Konsekuensinya, politik umat Islam di Indonesia pun terikat dengan komitmen tersebut. Segala bentuk eksklusifisme, sektarianisme, dan primordialisme politik harus dijauhi. Termasuk di sini adalah pemberlakukan ajaran melalui negara dan hukum formal, demikian pula ide proporsionalitas dalam perwakilan di lembaga-lembaga negara. Sebab, tuntutan-tuntutan semacam ini jelas berwajah sektarian dan berlawanan dengan asas kesetaraan bagi warga negara.
Yang penting, menurut Gus Dur, adalah memperjuangkan nilai-nilai Islam, bukan universum formalistiknya. Dengan memperjuangkan nilai-nilai yang ada dalam Islam, maka Gus Dur bisa mengatakan bahwa dia sedang memperjuangkan Islam. Di mata Gus Dur, Islam hanya dilihat sebagai sumber inspirasi-motivasi, landasan etik-moral, bukan sebagai simbol sosial dan politik belaka. Dengan kata lain, Islam tidak dibaca dari sudut verbatim doktrinalnya, tetapi coba ditangkap spirit dan rohnya. Islam dalam maknanya yang legal formal tidak bisa dijadikan sebagai ideologi alternatif bagi cetak biru negara bangsa Indonesia. Islam merupakan  faktor pelengkap di antara spektrum yang lebih luas dari faktor-faktor lain dalam kehidupan bangsa.
Walhasil, visi Gus Dur tentang Indonesia masa depan adalah negara-bangsa Indonesia yang demokratis, pluralis, toleran, dan humanis, yakni negara yang menjamin kedudukan yang sama bagi seluruh warga negara dari berbagai latar belakang agama, etnis, gender, aliran, bahasa, dan status sosial. Seluruh warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama, tidak ada diskriminasi dan kekerasan dalam kehidupan mereka.[]


Penulis adalah Direktur Fahmina-instutute, Deputi Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), dan Dosen Fak. Syari'ah IAIN Syekh Nurjati Cirebon
e-Mail: marzukiwahid@yahoo.com

Rabu, 07 Maret 2012

Perginya "Juru Damai" KH Abdullah Faqih



Oleh Edy M Ya`kub
(Kompas.com edisi 1 Maret 2012)


Innalillahi, pengasuh Pesantren Langitan, Widang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, KH Abdullah Faqih (82), telah pergi meninggalkan ribuan santri dan pengagumnya pada Rabu (29/2/2012) pukul 19.00 WIB. "Abah (ayah) meninggal dunia karena memang sudah 'sepuh' (sangat tua), tetapi ayah memang sempat masuk Graha Amerta RSUD dr Soetomo Surabaya pada 2 Oktober 2011 hingga sekitar seminggu," ucap KH Ubaidillah Faqih, putra almarhum KH Abdullah Faqih. Salah seorang dari 10 putra almarhum itu menceritakan, ayahandanya menjalani perawatan di Graha Amerta setelah mengalami stroke ringan akibat jatuh, tetapi setelah membaik akhirnya menjalani perawatan di rumah hingga meninggal dunia pada 29 Februari 2012. 

Para wartawan yang ikut menjadi saksi saat-saat melambungnya nama "guru spiritual" almarhum Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada awal Era Reformasi (1998) itu akan tahu betapa almarhum tidak menyukai publikasi. "Kami menerima pesan dari kiai, kiai tidak bersedia menerima wartawan," ujar santri almarhum bila ada wartawan yang datang untuk mewawancarainya.

Ya, nama Kiai Abdullah Faqih mencuat menjelang Sidang Umum MPR 1998, terutama berkaitan dengan pencalonan Gus Dur sebagai presiden, sehingga para wartawan pun memburunya. Saat itu, suara kalangan "nahdliyin" (warga NU) terbelah, ada yang mendukung pencalonan Gus Dur dan ada yang sebaliknya. Dalam situasi seperti itu, sejumlah kiai sepuh NU mengadakan pertemuan di Langitan sehingga muncul istilah "Poros Langitan" yang fatwanya sangat berpengaruh pada pencalonan Gus Dur. Pesan Kiai Abdullah Faqih untuk Gus Dur itu dibawa KHA Hasyim Muzadi (mantan Ketua Umum PBNU). Pesannya, "Kalau memang Gus Dur maju, ulama akan mendoakan." Restu Kiai Faqih itu membuat Gus Dur meneteskan air mata dan memeluk KHA Hasyim Muzadi. "Sampaikan salam hormat saya kepada Kiai (Faqih). Katakan, Abdurrahman sampai kapan pun tetap seorang santri yang patuh kepada ucapan kiai," tutur Gus Dur kepada Hasyim Muzadi.

Namun, para wartawan tidak pernah menerima cerita itu langsung dari Kiai Faqih karena kiai yang mengasuh lebih dari 3.000 santri itu memang tidak suka publikasi. Di mata para santri, "sang guru" memang sederhana, istiqomah, dan alim. Kesederhanaan itu terlihat dari tempat tinggalnya yang terbuat dari kayu berwarna janur kuning dengan ukuran sekitar 7 x 3 meter. Di dalamnya ada seperangkat meja kursi kuno dan dua lemari berisi kitab-kitab.

Kiai Faqih lahir di Dusun Mandungan, Desa Widang, Tuban. Saat kecil, ia lebih banyak belajar kepada ayahandanya sendiri, KH Rofi`i Zahid. Ketika beranjak remaja, Kiai Faqih "nyantri" kepada Mbah Abdur Rochim di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Kiai Faqih juga pernah tinggal di Mekkah, Arab Saudi, untuk belajar kepada Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki, ayah Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Setelah itu, Kiai Faqih kembali ke Pesantren Langitan yang didirikan pada l852 oleh KH Muhammad Nur, asal Desa Tuyuban, Rembang. Pesantren Langitan yang terletak di tepi Bengawan Solo yang melintasi Desa Widang (dekat Babat Lamongan) itu dikenal sebagai pesantren ilmu alat.

Para generasi pertama NU pernah belajar di Langitan, di antaranya KH Muhammad Cholil (Bangkalan), KH Hasyim Asy`ari, KH Wahab Hasbullah, KH Syamsul Arifin (ayah KH As`ad Syamsul Arifin), dan KH Shiddiq (ayah KH Ahmad Shiddiq). Kiai Faqih (generasi kelima) memimpin Pesantren Langitan sejak l971, menggantikan KH Abdul Hadi Zahid yang meninggal dunia karena usia lanjut. Kiai Faqih didampingi KH Ahmad Marzuki Zahid, yang juga pamannya.

Meski tetap mempertahankan nilai-nilai salaf, Pesantren Langitan di era Kiai Faqih lebih terbuka. Ia mendirikan pusat pelatihan bahasa Arab, kursus komputer, mendirikan taman tanak-kanak (TK) dan taman pendidikan Al Quran (TPA). Ada juga badan usaha milik pondok berupa toko induk, kantin, dan wartel. Kiai bersahaja itu juga mengarahkan pesantrennya agar lebih dekat dengan masyarakat, di antaranya ia mengirim dai ke daerah-daerah sulit di Jawa Timur dan luar Jawa. Selain itu, Kiai Faqih juga menginstruksikan para santrinya shalat Jumat di kampung-kampung, lalu membuka pengajian umum di pesantren di dekatnya.


Sosok teladan

Di balik kesederhanaan dan sikap antipublikasi, Kiai Abdullah Faqih juga merupakan sosok teladan yang mementingkan masyarakat luas. Untuk kepentingan masyarakat itulah, Kiai Faqih pernah meminta Gus Dur mencium tangan pamanda KH Yusuf Hasyim yang saat itu berseberangan dengannya. Gus Dur pun patuh kepada "sang guru". Tidak jauh dari itu, Kiai Faqih jugalah yang mengajak Gus Dur dan KHA Hasyim Muzadi untuk bersalaman ketika keduanya "bermasalah".

Sikap Kiai Faqih yang sederhana, antipublikasi, dan juga suka damai itu diakui Ketua Umum DPP PKNU H Choirul Anam yang akrab disapa Cak Anam. "Saya sendiri sempat menjenguk beliau pada hari Ahad (26/2) lalu," kata salah seorang tokoh Ansor NU Jatim yang dikenal sebagai "orang dekat" Kiai Abdullah Faqih itu. Pada pertemuan terakhir itu, katanya, dirinya sempat bertemu selama lima menit, tetapi dirinya sempat tertegun karena Kiai Abdullah Faqih sempat menangis. "Almarhum mengatakan kamu ke sini (meminta untuk mendekat). Beliau meminta saya untuk berjuang terus. Saya izinkan kamu, saya ridhoi, kamu berjuang terus, jangan khilaf, ajak bersatu semua kawan," katanya, mengutip pesan almarhum.

Ditanya tentang sosok Kiai Abdullah Faqih, Cak Anam yang juga mantan wartawan itu menilai Kiai Abdullah Faqih merupakan sosok yang jarang berbicara tentang kedudukan (jabatan) dan "dunia" (uang). "Beliau selalu mementingkan kejujuran dan moralitas. Kalau mendapat sumbangan dari orang, beliau selalu memilah, menyisihkan, dan akhirnya dikembalikan kepada kepentingan masyarakat," katanya. Bahkan, kata penulis buku "babon" tentang NU itu, Kiai Abdullah Faqih sering menyumbang kegiatan PKNU dengan uang pribadi. "Ketika PKNU akan bermuktamar, beliau bertanya apa sudah siap? Beliau pun menyerahkan sumbangan," katanya. Oleh karena itu, kepergian Kiai Abdullah bukan hanya PKNU yang kehilangan. "Bukan hanya PKNU atau NU yang kehilangan beliau, melainkan bangsa ini kehilangan sosok teladan yang lebih memikirkan orang lain daripada dirinya," katanya.

Rasa kehilangan juga dilontarkan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj. Ia menyatakan wafatnya KH Abdullah Faqih merupakan kehilangan besar bagi bangsa Indonesia.
"Wafatnya beliau merupakan kehilangan besar bagi kita, bukan hanya NU, melainkan juga bangsa Indonesia," katanya. Hal senada juga diungkap Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muslimat Nahdlatul Ulama Khofifah Indar Parawansa. Ia mengatakan, Indonesia kehilangan salah satu tokoh penyangga kekuatan spiritual dengan wafatnya KH Abdullah Faqih. "Kiai Faqih merupakan salah satu penyangga kekuatan spiritual bangsa Indonesia. Saat negara mengalami berbagai krisis, beliau menggerakkan istighatsah dan berbagai wirid atau amalan keagamaan untuk memohon pertolongan Allah," katanya.

Di lingkungan NU, kata Khofifah, Kiai Abdullah Faqih merupakan sosok kiai sepuh yang menjadi panutan, sedangkan di pentas nasional Kiai Faqih mulai dikenal dan didengar serta diperhatikan berbagai pemikiran kebangsaannya saat awal reformasi. "Gus Dur sendiri sering menjadikan fatwa Kiai Faqih sebagai referensi gerakan reformasi, misalnya saat mendirikan PKB dan saat mengambil keputusan pencalonan sebagai presiden," katanya.

Senin, 05 Maret 2012

Apakah Anda, Mengapa Anda



Apakah Anda, Mengapa Anda 1)
Oleh: Mohamad Sobary 2)


Apakah Anda dengki melihat gula, karena gula bisa menimbulkan sakit kencing manis? Mengapa Anda tak mengubah pola makan dan olahraga sebagaimana nasihat dokter, sehingga hidup Anda bebas dari kencing manis, dan dari kedengkian yang justru berbahaya karena bisa merusak hati dan cara Anda memandang dunia?
Apakah Anda dengki melihat minyak kelapa, karena minyak kelapa dianggap (oleh penguasa pasar yang serakah) bisa menimbulkan kolesterol dan membahayakan jantung? Mengapa Anda tak mencermati kekeliruan fatal dalam pola makan umat anusia, bahwa kini pola makan bangsa-bangsa Asia, Melanesia, dan Afrika salah karena mereka ingin tampil “modern” seperti orang Amerika dan mengukuti pola makan Amerika, sehingga bangsa-bangsa ini sekarang juga banyak mengidap kegemukan dan sakit jantung seperti orang Amerika? Bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Melanesia keliru karena mereka meninggalkan tradisi mapan yang diwariskan nenek moyang, yaitu tidak lagi mengonsumsi kelapa seperti dahulu kala, dan tak mau minum minyak kelapa untuk kesehatan.
Dalam sejarah perdagangan kita, kopra kita yang sangat unggul dimanipulasi di pasar Amerika, dengan label-label menyesatkan: minyak kelapa –minyak tropis—mengandung bahaya kolesterol. Maka, dagangan minyak olahan kita maupun kopra yang masih mentah, digasak di pasaran. Padahal minyak kelapa justru bersih dari kolesterol.
Maka kita bisa kembali ke tradisi sebelumnya, minum apa yang mereka sebut “kolesterol” tadi, agar kita bebas dari kolesterol. Kini, di dunia akademis kita terbuka lebar kebenaran, setelah para peneliti menemukan bahwa minum minyak kelapa murni—artinya minum “kolesterol” tadi, membikin—demi Tuhan—kita bebas dari kolesterol. Mengapa Anda tidak percaya, nasihat untuk minum VCO, minyak kelapa murni, itu sebuah kearifan yang datang dari tradisi lama kita sendiri, yang mengandung hikmah dan kebijaksanaan yang tak terukur dalamnya?
Apakaha Anda ingin menjadi Si Malin Kundang, yang silau kepada modernitas, dan memuja obat-obatan bikinan pabrik “modern” sambil melecehkan jamu, dan dengan cepat menempelkan di punggung jamu itu label ‘tradisional’? Mengapa Anda tak menyadari bahwa para mahatabib kita, yang membikin jamu-jamu itu, menguasai pemikiran, seni, dan kemampuan teknis, serta kesadaran makrokosmos yang dalam, yang jika diberi label, esensinya justru supramodern: sudah modern di banyak abad sebelum abad ‘modern’ lahir di bumi yang salah, oleh para pemikir ilmiah yang salah, karena mereka belum bisa belajar menunduk, supaya kepala-kepala mereka tak terbentur bintang-bintang di langit bikinan Tuhan, yang ilmu-ilmu-NYA mahadalam, dan tak habis dikaji dengan menggunakan air laut di seluruh permukaan bummi, ditambah tujuh kali jumlah itu sebagai tintanya, dibantu pohon-pohon di hutan-hutan di seluruh dunia, ditambah tujuh kali jumlah itu sebagai penanya, tapi ilmu Tuhan belum lagi akan habis tertulis?
Megapa mereka berani melecehkan karya para mahatabib Indonesia, yang dengan khidmat dan mendalam, juga menyerap—betatapun terbatasnya—kearifan dan ilmu-ilmu Tuhan, yang mahahalus dan mahadalam, yang tak mungkin habis ditulis manusia, hingga kerika bumi dan seluruh planet dalam tata surya ini digulung lagi dan digenggam-NYA?
Apakah Anda mendengki garam, karena garam bisa membuat darah tinggimu lebih buruk, dan karena itu kau, Menteri, mengimpor garam Australia, yang membuat kau memperoleh persenan dalam jumlah sangat besar dan membuatmu menjadi semakin kaya, tanpa menimbang derita para pembuat garam di sepanjang pantai di negeri kita yang menjadi penganggur tak bermartabat sebagai manusia? Mengapa kau tak belajar  dari Gandhi, yang dengan garam bisa memompa kemandirian bangsanya, sehingga India yang terjajah tak mau lagi mengonsumsi garam bikinan negeri penjajah, karena sesungguhnya hanya mudah bagi rakyat untu membikin garam dari pantai-pantai di negeri India sendiri? Mengapa garam rakyat kita sendiri kau bikin mati  karena kebijakan perdagangan yang lebih membela kepentingan asing, dan dirimu sendiri?
Mengapa kebijakan pemerintah kita sendiri justru menjadi instrumen penjajahan, dan membikin bangsa kita menjadi kere di tengah para kere dunia, padahal kita punya pantai-pantai terpanjang, yang tak dimiliki bangsa lain, dan di sanalah ‘tambang’ garam yang tak pernah habis itu tersedia? Negeri garam, mengapa mengimpr garam?
Mengapa kebijakan yang mengkhianati konstitusi seperti ini, di negeri ini tak dianggap tindakan yang bersiat ‘mencuri’? Kentang kita lebih baik dari kentang mana pun, tapi mengapa kau mengimpor kentang negeri asing, dan membikin kaya bangsa asing? Jeruk, jambu, kelengkeng, mangga, pepaya, apa kurangnya di negeri kita, hingga kita harus mengimpor, dan kebijakan itu membikin para petani buah kita merana?
Apa penyakit yang kita idap? Kehilangan rasa kebangsaan, kehilangan rasa kemanusiaan atau kebanyakan watak serakah, yang membuat kita tak peduli bangsa kita mati?
Apakah Anda mendengki asap rokok, yang mengandung radikal bebeas yang berbahaya, tapi tak peduli terhadap asap pabrik-pabrik dan asap motor dan mobil-bobil yang meyergap hidung Anda secara langsung, padahal emisi kendaraan bermotor juga – bahkan lebih—membawa dengan gembira bibit kanker di perut, di usus, di kandungan, di payudara, dan di mana saja mereka hinggap?
Mengapa Anda mendengki asap rokok yang mengandung bahaya bagi kesehatan nafas kita, tapi diam seribu bahasa terhadap narkotika dan obat-obat terlarang lainnya, yang sering mendadak sontak menimbulkan kematian, atau membikin tolol, koplo, yang begitu luas konsumennya, dan jelas mengancam kelangsungan hidup bangsa kita?
Mengapa Anda tak bisa bersikap agak dingin, dan agak adil terhadp kedua fenomena itu? Mengapa sikap patriotik Anda untuk menjaga kesehatan sesama manusia dan kesehatan masyarakat pada umunya sedemikian berat sebelah, tanpa peduli akan kenyataan bahwa di tingkat perdagangan dunia, semangat mematikan kretek kita –untuk dikuasai dan dimiliki orang-orang serakah—begitu tinggi? Seperti pengalaman minyak dan kopra kita, dan banyak mata dagangan kita yang kini sudah hancu luluh, tapi berkembang, jaya, dan membikin kaya raya bangsa lain yang sudah kaya?
Dalam sekitar lima tahun terakhir ini, mereka yang anti kretek dan mereka yang membela kretek maupun tembakau, bagaikan dua kubu yang siap saling mengganyang. Padahal, andaikata masing-masing bisa memenangkan kepentingannya, misalnya golongan anti-kretek menang, itu pun akhirnya hanya akan membukakan peluang bagi monopoli kretek di tangan bangsa asing, yang licik, yang sudah lebih duapuluh tahun mengincar mata dagangan itu untuk dimiliki sendiri dan dimonopoli di tingkat dunia, demi keserakahan yang tak terbatas. Mereka telah sejak lama melakukan lobi di mana-mana, dan tak enggan mengeluarkan dana besar demi mematikan kretek kita, dan mebiayai siapa saja yang bisa membantu mereka mencekik kretek ini agar mudah mereka kuasai.
Dimensi politik ekonomi ini mustahil tak kita ketahui. Ini menjadi ancaman bagi harga diri kita, bagi warisan kebudayaan kita. Mustahl kita tak mahu bahwa di balik ini terletak duit konkret, yang bisa kita pakai di dalam negeri, untuk kesejahteraan sesama bangsa kita. Mengapa pemerintah culas, menggunakan uang cukai rokok dan cengkeh yang besar itu untuk membunuh tanaman tembakau milik rakyat yang harus dilindungi pemerintah? Dan ketika pemerintah selingkuh dari tanggung jawab seperti ini, mengapa kita, golongan terpelajar, diam seribu bahasa terhadap penderitaan petani tembakau, yang adalah bangsa kita juga?
Kita ini bangsa Indonesia, dan warga negara Indonesia. Kita taat aturan. Kita taat pada apa yang dianggap baik bagi seluruh bangsa. Diadakannya auran mengenai temapt merokok itu baik bagi kesehatan dan kita terima dengan tangan terbuka. Kita butuh sehat. Kita butuh hidup lebih lama. Tapi marilah aturan itu kita bikin sendiri. Jangan hendaknya aturan itu dibikinkan bangsa lain, demi agenda lain yang lebih besar, dan demi mencekik kita. Duit sogokan asing itu hanya benda, yang mematikan jiwa kita, dan kebebasan kita untuk hidup bermasyakarat dan berbangsa. Duit itu tak akan selamanya ada di tangan kita. Kembalikan jiwa kita dan kebebasan kita dari pengaruh asing, apa pun wujudnya.
Dua kubu yang terdiri dari rata-rata orang terpelajar dan anggota kelas menengah, mungkin bahkan menengah atas di masyarakat kita, mengapa begitu gigih untuk mengalahkan yang lain, untuk pada akhirnya tak mendapatkan apa-apa, kecuali: kita biarkan pemerintah kita didikte bangsa asing, dan kehilangan kemandirian, karena setiap langkah perundangan dan aturan yang  dibuat, kiblatnya adalah kepentingan bangsa asing.
Mengapa kita tak merasa malu mengaku sebagai bangsa yang merdeka, dari sebuah negara merdeka? Satu dari dua kubu ini mungkin merasa tidak enak bila kalah. Mungkin kalah akan membuat mereka malu. Tapi mengapa Anda tak ingat Puntadewa, yang tak mau menang dalam Bharatayudha, bila untuk menang syaratnya harus rela culas, tidak jujur, dan tidak tulus terhadap kehidupan, dan lebih penting, tidak tulus pada diri sendiri? Di mana ‘barang’ bernama Si Tulus itu selama ini?
Mungkin kita tak akan lupa, kita bisa bohong pada orang lain. Tapi mengapa kita mau mencoba lupa,  bahwa kita tak bisa bohong pada diri sendiri?

1)                Judul Epilog dalam Buku “Membunuh Indonesia, Konspirasi Global Penghancuran Kretek”
2)                Penulis adalah Budayawan dan mantan Kepala LKBN Antara