oleh: Marzuki Wahid
Hari ini, Jum’at (30/12/2011), haul kedua Gus
Dur—panggilan legendaris KH Dr. Abdurrahman Wahid. Haul adalah ajaran budaya untuk memperingati, mengenang, dan meneladani
kebaikan, serta mendoakan orang yang sudah meninggal dunia. “Aku hanya pulang,
bukan pergi,” kata Gus Dur suatu waktu. Benar adanya, semangat, gagasan,
dan gerakan Gus Dur tidak pergi, masih terus hadir hingga hari ini. Satu di
antaranya adalah gagasan “menjadi muslim-indonesia” yang hendak diungkap dalam
tulisan ini.
Islam-Arab versus Islam-Indonesia
Tiga dekade yang lalu, Almaghfurlah Gus Dur pernah
melontarkan satu pertanyaan menggelitik, “Kita ini sebetulnya orang Islam yang
(kebetulan) hidup di Indonesia ataukah orang Indonesia yang (kebetulan)
beragama Islam?” Pertanyaan ini sepintas tidak problematik, tetapi jika dibaca
pelan-pelan dengan kecermatan yang tajam, maka termuat dua paradigma yang
bertolak belakang dalam mengimplementasikan Islam di bumi Nusantara ini.
Mencermati model pertanyaanya, tentu saja asumsi dasar pertanyaan ini
membedakan ”keislaman” dan ”keindonesiaan” sebagai dua entitas yang independen,
tak berhubungan satu sama lain: originalitas Indonesia menurut Agus Sunyoto
adalah kapitayan—bukan animisme dan dinamisme—dengan ragam kebudayaan yang
melikupinya. Sementara originalitas Islam adalah Arab dengan ragam kebudayaan
yang menyertainya.
Pertanyaan ini dilontarkan Gus Dur ketika sebagian orang Islam di Indonesia
marak menggunakan identitas ke-Arab-an untuk meneguhkan identitas dirinya
sebagai orang Islam. Dengan identitas itu, dalam benak mereka, seolah-olah
Islam itu Arab dan Arab itu Islam. Untuk menjadi Muslim, seseorang harus
menggunakan identitas Arab atau melebur seperti orang Arab, mulai dari cara
berbicara yang ke-arab-arab-an, berjenggot dan berjambang lebat, berpakaian
jubah, abaya hitam-hitam bercadar, atau seperti pakaian orang Afghanistan,
hingga cara makan dan apa yang dimakan oleh orang Arab pun dijadikan model
keislaman.
Muslim yang berblangkon (peci khas Jawa,
Cirebon), bersarung, masih menggunakan kemenyan dan dupa dalam sebagian
aktivitasnya, senang berziyarah kubur, memperingati tujuh hari, empat puluh
hari, seratus hari atau setahun (haul) dari kematian
leluhurnya dianggap tidak lebih-saleh dan tidak lebih-Islam ketimbang mereka
yang serba-Arab itu. Karena semua itu dianggap bukan Islam, tapi tahayyul, bid’ah, dan churafat (dulu dikenal TBC). Keislaman kelompok ini disebut Islam sinkretis, yakni
Islam campuran antara ”Islam-murni” dengan budaya lokal setempat.
Islam-murni (puritan) bagi mereka adalah Islam sebagaimana dijalankan
Rasulullah SAW selama hidupnya di Arab pada abad ketujuh Masehi di padang pasir,
yang belum mengenal teknologi secanggih hari ini. Demi menjaga kemurnian ajaran
Islam, penganut Islam di manapun berada diharuskan meniru dan mengikuti ”Islam
masa Rasulullah” dengan keseluruhan budaya dan tradisi kearabannya.
Jika model Islam ini yang diikuti, maka yang terjadi adalah arabisasi,
pengaraban dunia. Jika Islam adalah arabisasi, maka Islam tentu bersifat lokal,
temporal, dan bernuansa politis (sebab kata ”Arab” adalah konsep politik). Jika
Islam bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis, maka tentu bertentangan
dengan misi utama Islam sendiri sebagai rahmatan lil ’alamin, menebarkan
cinta-kasih kepada seluruh umat manusia di dunia dan segala ciptaan Tuhan di
alam semesta.
Selain itu, adalah imposible mempraktikkan
Islam-murni pada saat sekarang dan di tempat yang sama sekali berbeda dengan
budaya Arab. Kebudayaan Arab sendiri dan sejumlah tempat ibadah yang yang
disucikan umat Islam di Arab, seperti ka’bah, masjidil haram, tempat sa’i,
padang Arafah, Mina, Muzdalifah, dan lain-lain kini telah mengalami perubahan
secara signifikan ketimbang masa Rasulullah dulu karena perkembangan teknologi
dan kebutuhan manusia sekarang.
Inilah keresahan Gus Dur melalui pertanyaan kritisnya yang saya kutip di
atas.
Islam-serba Arab itulah paradigma “orang Islam yang (kebetulan) hidup di
Indonesia”. Identitas dasarnya adalah Islam (yang dalam pandangan mereka
adalah Arabisme). Untuk menjadi Islam, Indonesia dengan seluruh kebudayaannya
harus di-arab-kan. Jika Indonesia tidak bisa diarabkan, maka mereka membuat
identitas keislaman sendiri secara eksklusif di dalam sistem kebudayaan
Indonesia. Kebudayaan Indonesia disebutnya bid’ah (bukan bagian dari ajaran Islam) dan semua bid’ah adalah menyimpang dan sesat. Paradigma ini tentu cenderung eksklusif
dalam kebudayaan Indonesia, bahkan dalam banyak hal terjadi konflik kebudayaan.
Kebalikan dari cara pandang di atas adalah paradigma ”orang Indonesia yang
(kebetulan) beragama Islam”. Paradigma ini memandang Islam bukan Arab,
melainkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran universal kemanusiaan, keadilan,
kemaslahatan, kerahmatan, kesetaraan, dan persaudaraan yang dilandasi wahyu
ketuhanan dan tauhid. Ajaran-ajaran dan nilai-nilai ini dapat diterapkan di
mana dan kapan saja. Selain ibadah, semuanya dapat dilakukan sesuai dengan
budaya setempat. Islam dalam paradigma ini sangat mengapresiasi kebudayaan
lokal, bahkan berpendapat bahwa al-’âdatu muhakkamah (adat/tradisi
dapat dijadikan hukum). Menjadi Muslim, tidak harus Arab. Dengan budaya lokal
sekalipun, seseorang bisa menjadi Muslim sejati.
Di Bayan Lombok Barat, misalnya, terdapat pergumulan yang intensif antara
Islam dengan kebudayaan setempat, yang tercermin dalam komunitas Wetu Telu.
Tanpa harus menjadi Arab dan tanpa meninggalkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran
Islam yang universal itu, seseorang bisa mengamalkan ajaran Islam dengan baik.
Islam Wetu Telu adalah potret Islam lokal yang bertahan dengan keaslian dan
”kejujuran”nya.
Keberadaannya bukan tanpa hambatan dan ancaman. Cercaan dan stigma ”sesat”,
”menyimpang”, ”sinkretis”, ”belum sempurna”, dan sejenisnya biasa dilekatkan
oleh kelompok Islam lain yang merasa sempurna dan lebih benar, Islam Waktu Lima. Lagi-lagi, ini adalah pergulatan klaim kebenaran yang biasa terjadi
sepanjang sejarah antara kalangan tekstualis dengan kontekstualis, konservatif
dengan inovatif, arabis dengan kultural, dan varian-varian Islam lain.
Dengan demikian, Islam memang universal. Dalam universalitasnya, Islam
dapat dipraktikkan dan diwujudkan dalam setiap kebudayaan di belahan dunia.
Universalitas Islam terletak kepada nilai-nilai dasar ketuhanan, kenabian,
kemanusiaan, keadilan, kerahmatan, kebaikan, dan kasih sayang, beserta
prinsip-prinsip dasar pengembangannya. Ekspresi Islam dalam kehidupan nyata
tentu bergantung pada lanskap sosiologis dan kultural di mana Islam
dipraktikkan. Indonesia—dengan segala karakteristik kebudayaan dan
keberislamannya--sesungguhnya telah dapat menjadi varian Islam sendiri di
dunia, yakni Islam-Indonesia, tanpa harus menjadi Arab, Timur Tengah, Barat,
atau Eropa.
Realitas yang lain
INDONESIA adalah negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dengan jumlah
penduduk yang banyak dan wilayah yang luas, Indonesia juga bisa jadi negeri
pemilik mesjid dan pendidikan Islam terbanyak di dunia—mulai dari pendidikan
anak usia dini, pesantren, hingga pendidikan tinggi. Setiap tahun, Indonesia
adalah penyumbang jama’ah haji dan umrah terbanyak di negeri kelahiran
Rasulullah SAW. Meski tidak secara terang-terangan menyebut diri negara Islam,
tetapi dalam setiap perhelatan negara-negara Islam di dunia, suara Indonesia
selalu diperhitungkan.
Dengan sejumlah catatan buruk kasus-kasus kekerasan atas nama agama yang
terjadi akhir-akhir ini, terutama menyangkut pembatasan hak, pelarangan,
pengusiran, pembakaran, hingga pembunuhan atas Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI), aliran-aliran yang dituduh sesat, dan Gereja-gereja di berbagai
daerah, Indonesia masih dikenal sebagai negara yang mampu menerapkan
toleransi beragama dan kerukunan kehidupan umat beragama terbaik dibanding dengan
negara-negara muslim lainnya. Muslim Indonesia pun konon memiliki karakter yang
khas, terutama dalam pergumulannya dengan kebudayaan lokal Nusantara. Meski
Islam lahir di Arab, tetapi dalam kenyataannya Islam dapat tumbuh kembang dan
bahkan sangat berpengaruh di bumi Nusantara yang sebelumnya diwarnai animisme
dan dinamisme.
Indonesia pun secara sadar tidak menggunakan label Islam dalam struktur dan
sistem kenegaraannya. Meskipun dengan dasar Pancasila dan UUD 1945, tetapi
aturan-aturan kenegaraan dan peraturan perundang-undangannya tidak bertentangan
dengan Islam, bahkan sejalan dengan misi Islam untuk mewujudkan keadilan,
kedamaian, dan kemaslahatan. Di dalam Istana Presiden Indonesia di Jakarta
terdapat MasjidBaiturrahim, di sampingnya ada
Masjid Istiqlal, masjid nasional yang dikelola oleh Pemerintah. Begitu juga di
hampir seluruh Kantor Gubernur dan Bupati se-Indonesia, di depan atau di
sampingnya selalu terdapat Masjid Agung yang dikelola oleh Pemerintah.
Itulah “Islam Indonesia”, “Islam ala Indonesia”. Saya
memilah dan membedakan terma “Islam Indonesia” dan “Islam di Indonesia.”
Sekilas tidak terdapat perbedaan, tetapi secara paradigmatik memiliki implikasi
yang jauh. Yang digambarkan di atas adalah “Islam Indonesia”, Islam khas Indonesia,
Islam berkarakter Indonesia, dan Islam yang menyatu dengan kebudayaan
masyarakat Indonesia, tanpa bermaksud menundukkan dan menggantikannya menjadi
Islam versi Arab. “Islam Indonesia” adalah Islam berbaju kebudayaan Indonesia,
Islam bernalar Nusantara, Islam yang menghargai pluralitas, Islam yang ramah
kebudayaan lokal, dan sejenisnya. “Islam Indonesia” bukan foto copy Islam Arab,
bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan flagiasi Islam Barat, dan bukan pula
duplikasi Islam Eropa. “Islam Indonesia” adalah semua Islam itu yang tersaring
ke dalam keindonesiaan.
Berbeda dengan itu, “Islam di Indonesia” memberikan pengertian bahwa
Indonesia hanya sebagai lokus persinggahan dari Islam. Filosofi, logika, nalar,
budaya, simbol, bahasa, dan tata cara pergaulan semuanya diadopsi, difoto copy,
dicangkok, diduplikasi, dan diflagiasi secara sempurna dari Islam Arab. Asumsi
paradigma ”Islam di Indonesia” adalah bahwa Islam itu Arab dengan seluruh darah
daging kebudayaannya, sejak kelahiran hingga perkembangan dewasa ini. Di Indonesia,
Islam hanya numpang, singgah, dan menjadi ”orang lain” yang--apabila bisa
akan--menguasai Indonesia. Indonesia harus diislamkan, artinya diubah dan
diganti dengan Islam Arab atau pseudo-Arab: menjadi negara
Islam, secara simbolik menyebut Syari’at Islam, berbahasa Arab atau
kearab-araban, pakaian kearab-araban, dan sejenisnya. Islam model ini tidak
ramah dengan kebudayaan lokal, malah cenderung memusuhinya.
Pilar Islam Indonesia
Di balik ”Islam Indonesia” atau ”Islam di Indonesia” terdapat pilar keislaman
yang sangat kuat di Indonesia. Tanpa pilar ini, Islam tidak akan
berkembang di bumi Indonesia. Pilar-pilar itu adalah organisasi-organisasi
Islam yang sejak kelahirannya hingga sekarang terus berjuang dengan caranya
sendiri untuk mewujudkan Islam di bumi Nusantara. Organisasi-organisasi ini
memiliki akar jama’ah yang sangat kuat di bawah, yang secara sosiologis berbeda
satu sama lain. Mereka juga memiliki rasion d’etre sendiri atas
kehadirannya di Indonesia, mempunyai aset keagamaan, memiliki infrastruktur
sampai ke desa, dan yang terpenting mereka menggunakan nalar yang berbeda satu
sama lain dalam memahami sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan Hadis.
Organisasi-organisasi Islam sejenis ini di Indonesia sangat banyak. Di
antaranya adalah Persyarikatan Muhamadiyyah, Al Irsyad, Persis, Nahdlatul
Ulama, al-Washliyyah, Perti, Darud Da’wah wal Irsyad, Nahdlatul Wathan,
Mathla’ul Anwar, dan lain-lain. Organisasi-organisasi Islam ini adalah bagian
dari peradaban dan kekayaan intelektual “Islam Indonesia.” Inilah Islam
Nusantara yang membentuk kepribadian masyarakat Indonesia yang secara umum
sangat toleran, dapat hidup rukun dengan agama-agama lain, menerima dasar
negara Pancasila, menghargai kebudayaan lokal dan kebhinekaan, dan memiliki
ikatan sosial yang sangat kuat.
Munculnya isu terorisme, “Islam garis keras”, “Islam ekstrim”, dan “Islam
fundamentalis”, yang merongrong dasar negara Pancasila, menggunakan kekerasan
dalam menegakkan Syari’at Islam, menyuarakan negara Islam dan khilafah
Islamiyah secara simbolik, sesungguhnya bukan produksi asli
Islam-Indonesia. Itu adalah gerakan Islam transnasional yang diimpor dari
negara-negara Timur Tengah. Gejala ini muncul sepuluh tahun terakhir
saja, setelah rezim Orde Baru tumbang.
Gerakan Islam transnasional ini sesungguhnya tidak memperoleh dukungan kuat
dari mayoritas Muslim Indonesia. Hanya saja, karena suara mereka nyaring dan
keras, sehingga memperoleh perhatian media massa dan membuat ketakutan sebagian
pemerintah, politisi, dan aparat negara lainnya. Atas ketakutan ini,
seolah-olah mereka memperoleh dukungan politik.
Negara Pancasila
Gus Dur adalah tokoh Muslim terdepan yang menentang negara Islam simbolik
di Indonesia. Gus Dur memandang bahwa Pancasila adalah kompromi politik yang
memungkinkan semua orang Indonesia hidup bersama-sama dalam sebuah negara
kesatuan nasional Indonesia. Menurutnya, tanpa Pancasila, Indonesia akan
berhenti sebagai negara. Douglas E. Ramage mencatat bahwa penafsiran Gus Dur
dan rujukannya yang sering pada Pancasila erat kaitannya dengan peranannya
sebagai ulama-pesantren, yang memiliki komitmen kuat pada pluralisme dan
nilai-nilai inti demokrasi.
Telah lama ia berpendapat bahwa umat Islam harus berpegang pada Pancasila.
Ia memahami Pancasila sebagai syarat bagi demokratisasi dan perkembangan Islam
spiritual yang sehat dalam konteks nasional. Di matanya, Indonesia adalah
sebuah negara yang didasarkan pada konsensus dan kompromi dan kompromi itu
inheren dalam Pancasila. Dengan penuh keyakinan, Gus Dur berpendapat bahwa
pemerintahan yang berideologi Pancasila, termasuk negara damai (dar al-shulh) yang harus dipertahankan. Menurutnya, hal ini adalah cara yang paling
realistik secara politik jika dilihat dari pluralitas agama di Indonesia.
Lebih jauh, bagi Gus Dur, hal ini sepenuhnya konsisten dengan doktrin
keagamaan Islam yang tidak memiliki perintah mutlak untuk mendirikan negara
Islam. Islam tandas Gus Dur tidak mengenal sistem pemerintahan yang definitive
dan baku. Dalam persoalan yang paling pokok, misalnya suksesi kekuasaan, ternyata
Islam tidak memiliki sistem yang baku; terkadang memakai istikhlâf, bai’at dan ahl al-hall wa al-‘aqdi (sistem formatur). Padahal, dalam
pandangan Gus Dur, soal suksesi adalah soal yang cukup urgen dalam masalah
kenegaraan. “Kalau memang Islam punya sistem, tentu tidak terjadi demikian”.
Tidak adanya bentuk baku sebuah negara dan proses pemindahan kekuasaan
dalam bentuk baku yang ditinggalkan Rasulullah, baik melalui ayat al-Qur`an
maupun al-Hadits, membuat perubahan historis atas bangunan negara yang ada menjadi
tidak terelakkan dan tercegah lagi. Dengan demikian, maka kesepakatan akan
bentuk negara tidak bisa lagi dilandaskan pada dalil naqli, melainkan pada kebutuhan masyarakat pada suatu waktu.
Inilah yang menyebabkan mengapa hanya sedikit sekali Islam berbicara
tentang bentuk negara. Menurutnya, Islam memang sengaja tidak mengatur konsep
kenegaraan. Yang ada dalam Islam hanyalah komunitas agama (kuntum khaira ummatin ukhrijat li al-nâs). Jadi, yang ada khaira ummatin bukan khaira dawlatin, apalagi khaira mamlakatin, kilahnya.
Filsafat politik yang mendasari pemikiran Gus Dur adalah bagaimana
mengkombinasikan kesalehan Islam dengan apa yang disebutnya komitmen
kemanusiaan. Baginya, nilai itu bisa digunakan sebagai dasar bagi penyelesaian
tuntas persoalan utama kiprah politik umat, yakni posisi komunitas Islam pada
sebuah masyarakat modern dan pluralistik Indonesia. Humanitarianisme Islam pada
intinya menghargai sikap toleran dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap
kerukunan sosial. Dari kedua elemen asasi inilah sebuah modus keberadaan
politik komunitas Islam negeri ini harus diupayakan.
Cita ideal yang diperjuangkan Gus Dur secara konsisten adalah komitmen
terhadap sebuah tatanan politik nasional yang dihasilkan oleh proklamasi
kemerdekaan. Bahwa, semua warga negara memiliki derajat yang sama tanpa
memandang asal-usul agama, ras, etnis, bahasa dan jenis kelamin.
Konsekuensinya, politik umat Islam di Indonesia pun terikat dengan komitmen
tersebut. Segala bentuk eksklusifisme, sektarianisme, dan primordialisme
politik harus dijauhi. Termasuk di sini adalah pemberlakukan ajaran melalui
negara dan hukum formal, demikian pula ide proporsionalitas dalam perwakilan di
lembaga-lembaga negara. Sebab, tuntutan-tuntutan semacam ini jelas berwajah
sektarian dan berlawanan dengan asas kesetaraan bagi warga negara.
Yang penting, menurut Gus Dur, adalah memperjuangkan nilai-nilai Islam,
bukan universum formalistiknya. Dengan memperjuangkan nilai-nilai yang ada
dalam Islam, maka Gus Dur bisa mengatakan bahwa dia sedang memperjuangkan
Islam. Di mata Gus Dur, Islam hanya dilihat sebagai sumber inspirasi-motivasi,
landasan etik-moral, bukan sebagai simbol sosial dan politik belaka. Dengan
kata lain, Islam tidak dibaca dari sudut verbatim doktrinalnya, tetapi coba
ditangkap spirit dan rohnya. Islam dalam maknanya yang legal formal tidak bisa
dijadikan sebagai ideologi alternatif bagi cetak biru negara bangsa Indonesia.
Islam merupakan faktor pelengkap di antara spektrum yang lebih luas dari
faktor-faktor lain dalam kehidupan bangsa.
Walhasil, visi Gus Dur tentang Indonesia masa depan adalah negara-bangsa
Indonesia yang demokratis, pluralis, toleran, dan humanis, yakni negara yang
menjamin kedudukan yang sama bagi seluruh warga negara dari berbagai latar
belakang agama, etnis, gender, aliran, bahasa, dan status sosial. Seluruh warga
negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama, tidak ada diskriminasi dan
kekerasan dalam kehidupan mereka.[]
Penulis adalah Direktur
Fahmina-instutute, Deputi Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), dan Dosen
Fak. Syari'ah IAIN Syekh Nurjati Cirebon
e-Mail: marzukiwahid@yahoo.com
e-Mail: marzukiwahid@yahoo.com