Profil

Selasa, 22 Mei 2012

EMPAT RETAKAN JIWA BANGSA NUSANTARA


Pengantar BangbangWetan Mei 2012


Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib

‘Perahu Retak’ aslinya adalah judul sebuah lakon teater di awal 1980an yang berkisah tentang sejarah Nusantara pada awal abad 15. Inti kandungannya adalah kegagalan Bangsa (yang pernah sangat besar) Nusantara untuk menemukan kepribadian sosialnya sesudah punahnya kekuasaan besar Kerajaan Majapahit.

Kepribadian sosial bisa direntang ke hamparan konteks yang lebih luas. Misalnya, ideologi sosial, suatu landasan filosofis yang menentukan bagaimana sebuah bangsa mengambil keputusan di dalam membangun Kerajaan atau (sekarang) Negara, dengan segala perangkatnya, dari konstitusi, hukum, persambungan sosial-budaya, strategi sejarah, sistem perekonomian, hingga karakter kemanusiaan di dalam membangun atau memelihara kebudayaan, serta yang lebih besar: peradaban.

Mungkin lebih jelas kalau cara pandangnya kita tujukan langsung pada keadaan bangsa Indonesaia saat ini, yang kehilangan segala-galanya, kehilangan ukuran hampir di segala hal yang besar maupun yang kecil. Kehilangan dari kepribadian kebangsaan yang besar, kehilangan pengetahuan tentang diri sendiri sebagai bangsa, masyarakat maupun manusia. Kehilangan ilmu untuk mengolah sejarahnya, kehilangan pengetahuan untuk mengelola sosialitasnya, tidak mengerti kedaulatan rakyat, tidak memahami kepemimpinan, dan boleh dikatakan tidak apapun saja kecuali bernafsu mengejar materi dan harta benda, itupun salah berat konsepnya tentang materi dan harta benda.

Embrio kemusnahan kepribadian sosial Bangsa Nusantara itu dimulai secara substansial di akhir era Majapahit. Mulai retaknya kepribadian Bangsa Nusantara itu yang disebut ‘Perahu Retak’, di mana lakon teater ini berkisah tentang upaya ‘Seorang Pengelana’ untuk menghindarkan kemusnahan yang lebih total. Pengelana itu hadir di bumi sebagai Syekh Jangkung (ketika itu diperankan oleh Joko Kamto, yang juga memerankan Smarabhumi di ‘Tikungan Iblis’ dan Ruwat Sengkolo di ‘Nabi Darurat’).

***

Majapahit tidak hanya pernah membuat rakyatnya mencapai kesejahteraan, tapi juga kebesaran. Tak hanya kenyang, tapi juga bermartabat. Dan pangkal pencapaian ini terletak di tangan Mahapatih Gadjah Mada.

Kebesaran Gadjah Mada tidak bisa diregenerasi. Tidak bisa diulangi atau ditiru, kecuali secara parsial, dan itu sangat tidak memadai untuk memelihara martabat sejarah. Pertanian tulang punggung perekonomian Majapahit runtuh oleh semburan dan rambahan lumpur dari perut bumi di wilayah Canggu. Kenyataan itu membuat Majapahit pasti akan hancur meskipun tidak ada manusia lain di luar Majapahit.

Tanpa semburan lumpurpun kebesaran Gadjah Mada akan meretakkan psikologi rakyat Majapahit di era-era sesudahnya, karena semakin lama semakin mengalami degradasi oleh tiadanya tokoh sekaliber Gadjah Mada. Memelihara apa yang pernah diperjuangan dan kemudian dipanggul oleh Gadjah Mada sajapun tak mampu. Raja Majapahit terakhir, Nyoo Lay Wa (lebih tepat disebut Gubernur salah satu wilayah Kerajaan Demak) dibunuh oleh rakyatnya sendiri karena dianggap tidak mampu membangkitkan kembali kebesaran Majapahit.

Sampai beberapa era, kebesaran Gadjah Mada masih merupakan kebanggaan bagi rakyat Majapahit. Tetapi sesudah Majapahit benar-benar mengalami “Sirno Ilang Kertaning Bumi”, kebesaran Gadjah Mada berubah menjadi trauma. Itulah salah satu retakan terpenting psikologi sejarah Bangsa Nusantara.

Hari ini, retakan itu sudah tidak bisa direkatkan kembali. Bangsa Indonesia bukan hanya tidak sanggup membangkitkan dirinya menjadi sebesar yang pernah mereka capai. Bahkan ummat manusia Republik Indonesia sekarang ini tidak percaya bahwa nenek moyang mereka pernah mencapai kebesaran sejarah di muka bumi. Anak-anak muda, bahkan banyak kalangan kaum intelektual, terutama cara berpikir Penguasa dan Media Massa, malah mengejek setiap ucapan yang menyebut kebesaran kita di masa silam.

Hari ini bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bangsa yang hidup tenteram dengan ketenangan untuk mengejek dirinya sendiri, bahkan penuh kebanggaan untuk menghina dan merendahkan dirinya sendiri.

***

Sunan Ampel dan seluruh Dewan Wali Sembilan sepakat mempercayakan kepada Kiai Kanjeng Sunan Kalijaga untuk berjuang merekatkan kembali retakan-retakan yang terjadi pada Bangsa Nusantara.

Disain Kalijagan sangat dahsyat. Ia melakukan konsientisasi dan persiapan kebangkitan langsung ke diri Prabu Brawijaya V sendiri beserta keluarganya. Kemudian lapisan berikutnya: Angkatan Bersenjata Majapahit dan para Dewan Sesepuh Kerajaan. Kanjeng Sunan Kalijaga dengan tandas dan effektif serta dalam waktu yang relative singkat mengeksekusi transformasi Kerajaan Majapahit menuju Kesultanan Demak. Melakukan reformulasi kenegaraan dari Kerajaan Kesatuan ke Persemakmuran Perdikan-Perdikan. Dengan langsung menyebar kader-kader utamanya, yakni sebagian besar dari 117 putra Prabu Brawijaya V untuk menjadi Kepala-Kepala Tanah Perdikan di seantero Nusantara.

Sebagai contoh Harya Dewa Ketuk dijadikan Kepala Tanah Perdikan di Bali, Harya Lembu Peteng di Madura, Harya Kuwik di Kalimantan, Retna Bintara di Nusabarong, Jaka Prabangkara di Dataran Negeri Cina, serta berpuluh-puluh lain di berbagai ‘Negara Bagian’ dan rata-rata menjadi legenda di tempat masing-masing: Syekh Belabelu, Betoro Katong, Ki Ageng Mangir, dlsb. Puncak dari semua adalah putra Brawijaya V ke-13 Raden Jaka Praba atau Raden Patah diangkat oleh Kanjeng Sunan Kalijaga menjadi penerus Bapaknya dalam transformasi di Kasultanan Demak Bintoro.

Akan tetapi itu semua justru menunjukkan jenis retakan lain pada kejiwaan Bangsa Nusantara. Kanjeng Sunan Kalijaga tidak pernah menyangka hal itu, padahal beliau dianugerahi hidup dengan usia sangat panjang, melalui empat zaman di mana beliau berperan langsung sebagai Pemangku Sejarah.

***

Bangsa Nusantara tidak sanggup menanggung sekaligus empat tantangan di dalam jiwa dan alam berpikirnya.
Tantangan pertama, trauma kebesaran Gadjah Mada.

Kedua, tantangan yang berupa datangnya bangsa Portugis yang membayang-bayangi kedaulatan mereka, yang berkeliaran di lautan-lautan Nusantara tanpa mereka memiliki kepemimpinan, kesatuan dan peralatan sebagai di masa lalu tatkala Gadjah Mada memimpin.

Ketiga, datangnya alam pikiran baru, spiritualitas Bumi Langit baru yang berupa Agama Islam.
Keempat, ketidak-siapan mereka untuk mandiri dan otonom, untuk hidup dalam semacam Persemakmuran Kemandirian, dan bukan hidup menjadi satu kesatuan tidak di bawah Raja Besar sebagaimana di jaman kejayaan Majapahit.

Sirnanya kebesaran Majapahit membuat rakyatnya uring-uringan sendiri dan bertengkar sehingga bermunculan faksi-faksi sosial atau pengelompokan-pengelompokan yang bermacam-macam dengan tujuan untuk menyelamatkan dirinya masing-masing.

Datangnya kekuatan dari Eropa juga bukan mempersatukan mereka, melainkan menambah koloni-koloni untuk menyelamatkan diri masing-masing berdasarkan satuan-satuan sosial seketemunya saat itu. ‘Kelemahan’ sejarah mereka antara lain adalah karena jenis ekspansi kolonialisme yang dilakukan oleh Gadjah Mada bukan murni imperialism dan penjajahan kekuasaan, melainkan bersemangat pemersatuan dengan watak memangku semua wilayah yang dipersatukan. Sebab memang demikian filosofi dasar Bangsa Jawa sejak ribuan tahun sebelumnya. ‘Seharusnya’mereka lebih kejam, sehingga terlatih juga untuk mempertahankan diri terhadap kekejaman yang datang.

Datangnya Islam juga menimbulkan pemecahan sosial dalam satuan yang berbeda. Kekuatan dan kebijaksanaan yang diselenggarakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga sangat mencukupi muatan nilai-nilainya untuk mempersiapkan Bangsa Nusantara menjalankan transformasi, tetapi yang tak bisa ditaklukkan oleh Kalijaga adalah hakekat waktu. Bahwa Bangsa Nusantara memerlukan waktu yang panjang untuk menjadi Kaum Muslimin yang matang dan berpengalaman mengantisipasi tantangan-tantangan.

Pada saat yang sama Raden Patah memimpin mereka tidak dengan metoda dan kekuatan seperti Bapak dan kakek-kakeknya, karena beliau adalah salah satu murid utama Sunan Kalijaga yang mendidiknya berfikir secara ‘rahmatan lil’alamin’. Raden Patah menawarkan rintisan Demokrasi, otonomi daerah, peralihan cara berpikir dari ‘kawulo’ ke ‘khalifatullah’, persemakmuran yang saling berangkai, dan seterusnya. Dan ‘mantan’ rakyat Majapahit tidak siap.

***

Empat retakan atau berbagai ketidak-siapan itu melahirkan beragam-ragam perpecahan dan konflik. Ada konflik atas dasar hak kekuasaan, itu berlangsung di kalangan keluarga Kerajaan yang cabang-cabang pohon nasabnya sudah sangat besar dan lebar.

Ada konflik karena kepentingan tanah dan harta benda, yang membuat berbagai wilayah bekas Majapahit memisahkan diri: semangatnya bukan kemandirian dalam persemakmuran bersama, melainkan egosentrisme kekuasaan di lokal-lokal.
Ada juga yang sangat parah adalah konflik di wilayah tafsir Agama. Antara yang menolak Islam dengan yang menerima Islam. Antara yang menerima Islam sebagai suatu entitas menyeluruh dengan yang mengambil Islam untuk disinkretisasikan dengan ajaran-ajaran sebelumnya. Antara yang puritan menerima Islam tanpa kearifan budaya dengan yang merancukan Islam dengan tradisi budaya. Antara individu atau kelompok masyarakat yang kadar penerimaannya terhadap Islam berbeda-beda, bertingkat-tingkat.

Berbagai-bagai tema perpecahan merebak ke segala penjuru, menciptakan polaritas-polaritas baru yang bersaling-silang. Kiai Kanjeng Sunan Kalijaga merupakan semacam “padatan Muhammad kecil” bekerja dan berjuang sangat keras dalam skema sosial yang penuh retakan-retakan semacam itu.

Meskipun beliau merambah ke delapan penjuru angin, memasuki bilik-bilik Kraton hingga mengurusi kaum tani di pelosok dan para gelandangan, ‘hanya’ berhasil menanam infrastruktur nilai-nilai sejarah baru yang sangat Islami dan dahsyat, namun memerlukan kontinyuasi dan akselerasi perjuangan pada para pelaku di zaman berikutnya.

Perjuangan Sunan Kalijaga itu bahkan ‘terganggu’ sangat serius oleh keras dan meluasnya konflik-konflik pada Masyarakat Nusantara yang semakin kehilangan kepribadian sosialnya. Beliau mengawal berdirinya Kesultanan Demak sampai beberapa Sultan, dengan keadaan di mana kepemimpinan Demak belum cukup matang untuk mensosialisasikan nilai-nilai Islam Kalijagan, dan pada saat yang sama rakyat Demak juga kurang terdidik untuk menjadi pelaku yang sadar dan aktif dari reformulasi Kalijagan.

Kiai Kanjeng Sunan juga kemudian mengawal kesultanan Pajang yang semakin mengalami degradasi nilai-nilai. Dan ketika kemudian Mas Karebet, Sultan Hadiwijaya, Raja terakhir Pajang, menyerahkan kontinyuasi kepemimpinannya kepada anak angkatnya, Sutawijaya, dengan mendirikan Kerajaan (bukan Kesultanan) Mataram, maka saat itulah lahir Indonesia….

***

Syekh Jangkung (nama aslinya Saridin, sari-nya ad-Din), Pengelana yang dikisahkan dalam “Perahu Retak” adalah cucu murid Kanjeng Sunan Kalijaga melalui Sunan Kudus muridnya.

Ia memohon diperkenankan mengakselerasi perjuangan Sunan Kalijaga yang saat itu sudah sangat sepuh. Syekh Jangkung mencoba melakukan recovery dan rekonstruksi kepribadian Islam Nusantara melalui Raden Mas Kalong (kalong: pengelana), putra sulung Pangeran Benowo, seorang yang seharusnya memegang kuasa untuk mengembalikan etos Demak di ujung Pajang.

Pangeran Benowo pergi menyingkir dari Kesultanan karena tidak tahan hati menyaksikan multi-konflik yang terus berlangsung dan makin parah. Sehingga kekuasaan kemudian dipegang oleh tokoh yang tidak berada pada garis nasab Majapahit (dan sempalan inilah yang kemudian menjadi Kraton Pakubuwanan dan Hamengkubuwanan yang masih ada sampai hari ini).

Syekh Jangkung mengajak Kalong berkeliling membangun Masyarakat Nusantara Baru, berusaha menyelesaikan berbagai konflik dengan metoda sebagaimana yang diajarkan secara sangat mendalam namun bijak oleh Kiai Kanjeng Sunan Kalijaga. Jangkung dan Kalong berusaha “memaiyahkan” Masyarakat Nusantara, namun jatah waktu kehidupan beliau tidak mencukupi, sebagaimana Sunan Kalijaga sendiri “seharusnya” berusia tiga kali lipat dari 126 tahun.

Mataram adalah Indonesia kecil yang “meresmikan” retakan-retakan mental dan cara berpikir Bangsa Nusantara. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Mataram besar yang memuncaki keretakan itu, sampai pada tahap bagaikan tiada lagi Nusantara ini, dari berbagai sudut pandang, cara pandang maupun jarak pandang.

Hari ini dan seterusnya, Anda semua para Jamaah Maiyah adalah Jangkung-Jangkung Kalong-Kalong yang sedang ditantang oleh sejarah.


Muhammad Ainun Nadjib
Yogya 6 Mei 2012.

Kamis, 10 Mei 2012

Ahlul hisab wal jamaah

Manusia modern sangat tidak konsisten menjalani kehidupannya. Saat dia berniat melakukan investasi atau konsumsi, tetapi modal tidak memadai, dia berani menjaminkan umurnya dengan hutang. Peluang (opportunity) bisnis menggiurkan membuat beberapa manusia rela meminjam modal besar seakan telah sukses menegosiasikan umurnya. Bahkan banyak yang berani bertaruh hutang hingga 20 tahun usia kedepan demi sepetak tempat tinggal. Seketika itu manusia menjadi sangat optimis dan tawakal.

Namun keadaan itu berbalik drastis ketika mereka berkenalan dengan istilah resiko. Resiko individual (kematian nyawa, kerugian dan kehilangan harta benda) hingga resiko bisnis(bencana, kejahatan hingga musibah) hadir menjadi momok yang kemudian menciutkan nyali mereka. Hingga mereka rela menukar resiko berbagai alat pembayaran.  Seorang bayi yang baru dilahirkan ke dunia sudah mulai dibayarkan masa depan kuliahnya (17 tahun kedepan). Seketika itu pula mereka berubah menjadi mahluk pesimis dan tak percaya akan ketentuan sang Pencipta.

Peradaban modern memanfaatkan ketidakkonsistenan manusia ini dengan berbagai retorika ilmuscience modern, dari ilmu matematika peluang hingga ilmu ekonomi keuangan. Lembaga Keuangan Dunia berlomba-lomba mereguk keuntungan, bankir-bankir perbankan hidup dengan gemerlap hingga agen-agen asuransi berkeliling melancong ke belantara dunia. Bisnis kebingungan ini merambah hingga tak malu berkedok agama atau lebih kerennya syariah. Para pemuka agama hingga birokrat pun tak sungkan beriklan menambah kebingungan umat.

Disadari atau tidak manusia kemudian menjerumuskan segala aspek kehidupan nya dalam sebuah kalkulasi neraca materi yang sangat absurd. Perhitungan empiris keuntungan (benefit) dan kerugian (loss) dikemas dengan keberadaan ruang dan waktu. Semakin positip neraca kemakmuran hidup semakin manusia merasa yakin kemampuan dirinya. Kemampuan diri yang tak jarang perlahan meninggalkan Sang Penyebab Kehidupan.
  
Lance Armstrong  (40 tahun), juara dunia balap sepeda profesional Amerika Serikat  tahun 1996 divonis menderita kanker yang telah menjalar hingga otak dan paru-parunya. Berbagai perawatan medis yang telah ia lalui ditambah menyusut nya berat badan nya hingga 9 kg ternyata berbuah anugerah besar. Setelah ia dinyatakan sembuh ia kembali berlomba Tour de France di tahun 2009. Berat tubuh nya lebih ideal menjadikannya mudah melalui tanjakan, yang selama ini menjadi titik terlemah nya ketika mengayuh sepeda sebelum era penyakitnya. Bahkan dia berhasil menutup karier 14 tahun nya dengan menjuarai Tour de France sebanyak tujuh kali berturut-turut (1999 - 2005).

Kisah Lance Amstrong menyadarkan banyak faktor non materi yang ternyata harus diperhitungkan menjadi penyebab kemampuan diri. Ada kekuatan penyangga kemampuan jasad, pikir hingga jiwa yang manusia sendiri masih blank alias gelap. Neraca surplus kehidupan perlu dilengkapi dengan proses kalkulasi anugerah. Anugerah yang awalnya tidak diperhitungkan boleh jadi jauh lebih dominan berperan dibandingkan dengan hasil “usaha” manusia sendiri. Berbagai kemurahan dan pertolonganNya kembali diperhitungkan hingga neraca kehidupan menjadi tak surplus lagi, malah nampak adanya defisit yang besar. Proses kalkulasi ini layaknya  disebut “Menghisab Tuhan”.

Tak berhenti pada diri, konsep “Menghisab Tuhan” dapat berlaku pada perhitungan neraca negeri ini. Rasanya tak satupun nilai surplus yang layak menjadikan negeri ini tetap bertahan. Rapor merah (meminjam istilah para seniman politik) tercatat di berbagai pos neraca kehidupan Negara. Bahkan jika menilik firman Penguasa Kehidupan bahwa ‘telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia’, rasanya sangat wajar jika keberadaan negeri ini sudah layak dihancurkan. Kekuatan apakah yang mampu menunda atau bahkan membatalkan kemarahan Nya?

Segala kemurahan dan pertolonganNya yang tercurah atas negeri  diperhitungkan hingga akhirnya terlihat neraca menjadi surplus. Ketahanan bangsa ternyata bukan berasal dari daya tahan penghuninya namun karena pertolonganNya belaka. Menghisab Tuhan hanya membutuhkan kejujuran. Jujur mengakui batas kemampuan diri, jujur mengakui kelemahan hingga kesalahan dan puncak nya jujur mengakui bahwa segala yang diperbuat tiada artinya tanpa campur tanganNya.

Manifestasi menghisab adalah timbulnya rasa bersyukur (atas berbagai temuan-temuan kenikmatan yang luput dari kalkulasi neraca kehidupan) dan etos kerja yang kuat. Faktor inilah boleh jadi  penawar kehancuran bangsa ini.  Hingga layak kiranya sang penguasa negeri berterima kasih kepada mereka yang dapat dikategorikan sebagai ahlul hisab wal jamaah.

["Di dunia ini kewajiban utama manusia adalah bergaul dengan persangkaan-persangkaan. Manusia mempergaulkan persangkaan.  Ilmuwan-ilmuwan menuliskan skripsi yang mendobrak sangkaan melalui penelitian untuk kemudian berujung pada persangkaan yang baru. Dalam dunia politik entah berapa ribu orang masuk penjara atau meninggal dunia berkat lalulintas persangkaan nasional dan internasional. Baik persangkaan yang hanya bersubstansi kebodohan dan kesombongan, maupun persangkaan yang diskenariokan oleh rekayasa-rekayasa resmi. Banyak sekali peristiwa-peristiwa politik yang sesungguhnya hanya berpangkal di persangkaan dan berujung di persangkaan berikutnya. Demi budaya dan peradaban persangkaan sangat banyak manusia harus mengorbankan hidupnya, airmatanya, penghidupannya, masa depannya, bahkan nyawanya sekalipun. ...

Bahkan persangkaan seringkali juga merupakan muatan utama dari peta pergaulan teologi antar para pemeluk agama maupun aliran-aliran nilai yang dianggap sebagai agama. Tuhan sendiri memakai idiom dhonn, yang berarti persangkaan, untuk menjelaskan sejumlah fenomena kekufuran, kemunafikan, kemusyrikan, dan lain sebagainya, yang terjadi pada mentalitas, batin, pikiran, dan kejiwaan hamba-hambaNya.." ] Dikutip dari "Dinamika Persangkaan", Emha Ainun Nadjib.


Spirit pencarian dan perumusan "Menghisab Tuhan" ini akan menjadi nafas perhelatan Kenduri Cinta yang akan digelar tanggal 11 Mei 2012 di Taman Izmail Marzuki. Semoga wacana ini dapat memperkaya khasanah pemikiran kita bersama.


Jakarta, 7 Mei 2012
Dapoer Kenduri Cinta