Profil

Rabu, 20 Februari 2013

JAKARTA DAN KOMPLEKSITASNYA



               Tidak pernah terbayangkan sebelumnya di alam pikiran saya untuk tinggal di kota sebesar Jakarta. Mungkin sudah suratan takdir kenapa akhirnya saya tinggal disini. Kota yang segala polah dan tingkahnya menjadi pusat perhatian seluruh masyarakat di Indonesia. Apakah itu tentang gaya hidup, politik, ekonomi, budaya, keamanan, gosip sampai dengan kata-kata gaul. Hal ini tidak aneh, mengingat kedudukan Jakarta tidak hanya berputar pada statusnya sebagai ibukota negara, namun juga menyandang status sebagai pusat bisnis, hiburan, pendidikan, budaya, dsb.
            Ada beberapa hal yang menjadi perhatian saya selama tinggal disini, yang PERTAMA adalah gaya hidup konsumeris dan hedonis sebagian besar masyarakat. Entah duit dari mana datangnya, membuat mereka begitu gampangnya mengeluarkan uang dan seolah-olah nilai uang yang bagi umumnya masyarakat Indonesia begitu sangat berharga, bagi mereka seolah tidak ada artinya. Kita bisa lihat hampir setiap hari mal, pusat perbelanjaan selalu penuh, entah apa yang dibelanjakannya, ada saja pastinya. Belum lagi restoran, bioskop, tempat karaoke, tampat nongkrong juga tidak kalah penuhnya. Jika yang melakukan hal yang demikian adalah masyarakat yang memang mempunyai kekayaan tanpa batas sih wajar-wajar saja. Namun jika hal tersebut turut menjangkiti masyarakat tingkat menengah ke bawah, maka hal tersebut menjadi warning tersendiri bagi alur hidup warga Jakarta.
            Yang KEDUA adalah tata cara pergaulan. Orang Jakarta mempunyai sifat yang terbuka, egaliter dan mudah berteman dengan siapa saja. Sebagai orang yang lama tinggal di jawa bagian tengah, saya agak terkaget-kaget. Sebagai contoh ketika di ruang kuliah atau ruang diskusi, tanya jawab bisa mengalir sedemikian rupa dengan bumbu kritik-kritik yang tajam yang jika sang dosen atau narasumber tidak siap maka situasi bisa berbalik sang dosen atau narasumber harus berguru pada yang bertanya. Namun dari sisi ini juga ada kelemahannya, dengan sifat yang demikian maka tingkat keterpengaruhan akan budaya yang negatif menjadi lebih mudah masuk. Gejala penggunaan narkoba, tawuran, pergaulan bebas sedikit banyak menurut hemat saya berasal dari adanya sifat-sifat ini.
          Namun Jakarta tidak sepenuhnya berisi hal yang negatif sebagaimana banyak masyarakat memandang demikian. Ini yang menjadi poin terakhir saya di kesempatan ini. Jika kita jeli, banyak sekali ditemukan majelis ilmu dari berbagai macam disiplin, aliran dan komunitas. Bebas dan terbuka untuk umum. Banyak sekali masjid setiap harinya menyeleggarakan kajian, bisa saat jam makan siang atau selepas malam. Belum lagi forum tentang politik, sosial, seni, budaya, dsb. Yang rutin diadakan apakah itu setiap minggu atau model bulanan. Hal ini yang saat ini sedang saya nikmati betul. Apalagi menilik kondisi saya yang masih bujangan.
       Jakarta singkat cerita mengandung beragam warna. Bagai dua sisi uang koin, didalamnya banyak mengandung kontradiksi. Saling melengkapi. Diantara poin yang saya sebutkan diatas, Jakarta masih menyimpan segudang masalah. Isu kemacetan, banjir, kriminalitas, tingkat pengangguran, pembangunan kota, perumahan murah, dan sarana transportasi masih dominan di alam pikiran masyarakat Jakarta. Dan beginilah Jakarta, hal yang demikian membuatnya selalu hidup 24 jam setiap harinya.

Admin
Jakarta, 20 Feb 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar