Profil

Jumat, 20 Desember 2013

Harlah, Natal dan Maulid

Oleh: Abdurrahman Wahid

Penggunaan ketiga kata di atas dalam satu nafas, tentu banyak membuat orang marah. Seolah-olah penulis menyamakan ketiga peristiwa itu, karena bagi kebanyakan kaum Muslimin, satu dari yang lain sangat berbeda artinya. Harlah (hari lahir) digunakan  untuk menunjuk kepada saat kelahiran seseorang atau sebuah institusi. Dengan demikian, ia memiliki "arti biasa" yang tidak ada kaitannya dengan agama. Sementara bagi kaum Muslimin, kata Maulid selalu diartikan saat kelahiran Nabi Muhammad Saw. Dan kata Natal bagi kebanyakan orang, termasuk kaum Muslimin dan terlebih-lebih kaum Nasrani, memiliki arti khusus yaitu hari kelahiran Isa Al-Masih. Karena itulah, penyamaannya dalam satu nafas yang ditimbulkan oleh judul di atas, dianggap "bertentangan" dengan ajaran agama. Karena dalam pandangan mereka, istilah itu memang harus dibedakan satu dari yang lain. Penyampaiannya pun dapat memberikan kesan lain, dari yang dimaksudkan oleh orang yang mengucapkannya.
Kata Natal, yang menurut arti bahasanya adalah sama dengan kata harlah, hanya dipakai untuk Nabi Isa al-Masih belaka. Jadi ia mempunyai arti khusus, lain dari yang digunakan secara umum -seperti dalam bidang kedokteran, seperti perawatan pre-natal yang berarti "perawatan sebelum kelahiran"-. Yang dimaksud dalam peristilahan ‘Natal' adalah saat Isa Al-Masih dilahirkan ke dunia oleh "perawan suci" Maryam. Karena itulah ia memiliki arti tersendiri, yaitu saat kelahiran anak manusia bernama Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia. Karena kaum Nasrani mempercayai adanya dosa asal. Anak manusia yang bernama Yesus Kristus itu sebenarnya adalah anak Tuhan, yang menjelma dalam bentuk manusia, guna memungkinkan "penebusan dosa" tersebut. Karena itu penjelmaannya sebagai anak manusia itu disebut juga oknum, yang merupakan salah satu dari oknum roh suci dan oknum Bapa yang ada di surga.
Sedangkan Maulid adalah saat kelahiran Nabi Muhammad Saw. Pertama kali dirayakan kaum Muslimin atas perintah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi dari Dinasti Mamalik yang berkebangsaan Kurdi itu. Dengan maksud untuk mengobarkan semangat kaum Muslimin, agar menang dalam perang Salib (crusade), maka ia memerintahkan membuat peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad tersebut, enam abad setelah Rasulullah wafat. Peristiwa Maulid itu hingga kini masih dirayakan dalam berbagai bentuk, walaupun Dinasti Sa'ud melarangnya di Saudi Arabia. Karya-karya tertulis berbahasa Arab banyak ditulis dalam  puisi dan prosa untuk "menyambut kelahiran" itu.
Karenanya dua kata (Natal dan Maulid) yang mempunyai makna khusus tersebut, tidak dapat dipersamakan satu sama lain, apapun juga alasannya. Karena arti yang terkandung dalam tiap istilah itu masing-masing berbeda dari yang lain, siapapun tidak dapat membantah hal ini. Sebagai perkembangan "sejarah ilmu", dalam bahasa teori Hukum Islam (fiqh) kedua kata Maulid dan Natal adalah "kata yang lebih sempit maksudnya, dari apa yang diucapkan" (yuqlaqu al'am wa yuradu bihi al-khash). Hal ini disebabkan oleh perbedaan asal-usul istilah tersebut dalam sejarah perkembangan manusia yang sangat beragam itu. Bahkan tidak dapat dipungkiri, bahwa kata yang satu hanya khusus dipakai untuk orang-orang Kristiani, sedangkan yang satu lagi dipakai untuk orang-orang Islam.
******
Natal, dalam kitab suci al-Qur'an disebut sebagai "yauma wulida" (hari kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan sebagai hari kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip: "kedamaian atas orang yang dilahirkan (hari ini)" (salamun yauma wulid) yang dapat dipakaikan pada beliau atau kepada Nabi Daud. Sebaliknya, firman Allah dalam surat al-Maryam: "Kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku" (al-salamu ‘alaiyya yauma wulidtu), jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi Isa. Bahwa kemudian Nabi Isa "dijadikan" Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah suatu hal yang lain lagi, yang tidak mengurangi arti ucapan Yesus itu. Artinya, Natal memang diakui oleh kitab suci al-Qur'an, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran beliau, yang harus dihormati oleh umat Islam juga. Bahwa, hari kelahiran itu memang harus dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang sama tetapi dengan maksud yang berbeda, adalah hal yang tidak perlu dipersoalkan. Jika penulis merayakan Natal adalah penghormatan untuk beliau dalam pengertian yang penulis yakini, sebagai Nabi Allah Swt.
Sedangkan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (Saladin the Saracen), penguasa dari wangsa Ayyub yang berkebangsaan Kurdi/ non-Arab itu, enam abad setelah Nabi Muhammad saw wafat, harus berperang melawan orang-orang Kristiani yang dipimpin Richard berhati singa (Richard the Lion Heart) dan Karel Agung (Charlemagne) dari Inggris dan Perancis  untuk mempertanggungjawabkan mahkota mereka kepada Paus, melancarkan perang Salib ke tanah suci. Untuk menyemangatkan tentara Islam yang melakukan peperangan itu, Saladin memerintahkan dilakukannya perayaan Maulid Nabi tiap-tiap tahun, di bulan kelahiran beliau. Bahwa kemudian peringatan itu berubah fungsinya, yang tidak lagi mengobarkan semangat peperangan kaum Muslimin, melainkan untuk mengobarkan semangat orang-orang Islam dalam perjuangan (tidak bersenjata) yang mereka lakukan, itu adalah perjalanan sejarah yang sama sekali tidak mempengaruhi asal-usul kesejarahannya.
Jadi jelas bagi kita, kedua peristiwa itu jelas mempunyai asal-usul, dasar tekstual agama dan jenis peristiwa yang sama sekali berbeda. Ini berarti, kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal. Mereka bebas merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama. Penulis menghormatinya, kalau perlu dengan turut bersama kaum Kristiani merayakannnya bersama-sama. Dalam literatur fiqh, jika kita duduk bersama-sama dengan orang lain yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang Muslim diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak turut dalam ritual kebaktian. Namun hal ini masih merupakan "ganjalan" bagi kaum muslimin pada umumnya, karena kekhawatiran mereka akan "dianggap" turut berkebaktian yang sama. Karena itulah, kaum Muslimin biasanya menunggu di sebuah ruangan, sedangkan ritual kebaktian dilaksanakan di ruang lain. Jika telah selesai, baru kaum Muslimin duduk bercampur dengan mereka untuk menghormati kelahiran Isa al-Masih.
Inilah "prosedur" yang ditempuh oleh para pejabat kita tanpa mengerti sebab musababnya. Karena jika tidak datang melakukan hal itu, dianggap "mengabaikan" aturan negara, sebuah masalah yang sama sekali berbeda dari asal-usulnya. Sementara dalam kenyataan, agama tidak mempersoalkan seorang pejabat datang atau tidak dalam sebuah perayaan keagamaan. Karena jabatan kenegaraan bukanlah jabatan agama, sehingga tidak ada keharusan apapun untuk melakukannya. Namun seorang pejabat, pada umumnya dianggap mewakili agama yang dipeluknya. Karenanya ia harus mendatangi upacara-upacara keagamaan yang bersifat ‘ritualistik', sehingga kalau tidak melakukan hal itu ia akan dianggap ‘mengecilkan' arti agama tersebut. Ini adalah sebuah proses sejarah yang wajar saja. Setiap negara berbeda dalam hal ini, seperti Presiden AS yang tidak dituntut untuk mendatangi peringatan maulid Nabi Saw. Di Mesir umpamanya, Mufti kaum Muslimin -yang bukan pejabat pemerintahan- mengirimkan ucapan selamat Natal secara tertulis, kepada Paus Shanuda (Pausnya kaum Kristen Coptic di Mesir). Sedangkan kebalikannya terjadi di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, bukan pada hari Maulid Nabi saw. Padahal di Indonesia pejabat beragama Kristiani, kalau sampai tidak mengikuti peringatan Maulid Nabi saw akan dinilai tidak senang dengan Islam, dan ini tentu berakibat pada karier pemerintahannya. Apakah  ini merupakan sesuatu yang baik atau justru yang buruk, penulis tidak tahu. Kelanjutan sejarah kita sebagai bangsa, akan menunjukkan kepada generasi-generasi mendatang apakah arti moral maupun arti politis dari "kebiasaan" seperti itu.
Di sini menjadi jelas bagi kita, bahwa arti pepatah lain padang lain ilalang, memang nyata adanya. Semula sesuatu yang mempunyai arti keagamaan (seperti perayaan Natal), lama-kelamaan "dibudayakan" oleh masyarakat tempat ia berkembang. Sebaliknya, semula adalah sesuatu yang "dibudayakan" lalu menjadi berbeda fungsinya oleh perkembangan keadaan, seperti Maulid Nabi saw di Indonesia. Memang demikianlah perbedaan sejarah di sebuah negara atau di kalangan suatu bangsa. Sedangkan di negeri lain orang tidak pernah mempersoalkannya baik dari segi budaya maupun segi keyakinan agama. Karenanya, kita harus berhati-hati mengikuti perkembangan seperti itu. Ini adalah sebuah keindahan sejarah manusia, bukan? 

Jerussalem, 20 Desember 2003
Penulis adalah mantan Ketua Dewan Tanfidz PBNU dan Presiden RI Ke- 4
Tulisan ini dimuat di Harian Suara Pembaruan
Di copy dari www.gusdur.net

Rabu, 05 Juni 2013

NU dan NEGARA ISLAM





Oleh Alm  KH. Abdurrahman Wahid


Sebuah pertanyaan diajukan kepada penulis: Apakah reaksi NU (Nahdlatul Ulama) terhadap gagasan Negara Islam (NI), yang dikembangkan  oleh beberapa partai politik yang menggunakan nama tersebut? Pertanyaan ini sangat menarik untuk dikaji terlebih dahulu dan dicarikan jawaban yang tepat atasnya. Inilah untuk pertama kali organisasi yang didirikan tahun 1926 ini ingin diketahui orang bagaimana pandangannya  mengenai NI. Ini juga berarti, keinginn tahuan akan hubungan NU dan keadaan bernegara yang kita  jalani sekarang ini dipersoalkan orang. Dengan kata  lain, masalah pendapat NU sekarang bukan hanya menjadi masalah intern organisasi saja, melainkan  sudah menjadi “bagian” dari kesadaran umum  bangsa kita. Dengan upaya menjawab pertanyaan  tersebut, penulis ingin menjadi bagian dari proses  berpikir yang sangat luas seperti itu, sebuah  keinginan yang pantas-pantas saja dimiliki  seseorang yang sudah sejak lama tergoda oleh  gagasan NI. Dalam sebuah tesis MA -yang dibuatnya beberapa  tahun yang lalu, pendeta Einar Martahan Sitompul,yang di kemudian hari menjadi Sekretaris Jenderal  Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), menuliskan bahwa Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin (Borneo Selatan), harus menjawab  sebuah pertanyaan, yang dalam tradisi organisasi tersebut dinamai bahtsul al-masa’il (pembahasan masalah).

Salah sebuah masalah yang diajukan  kepada muktamar tersebut berbunyi: wajibkah bagi  kaum muslimin untuk mempertahankan kawasan  Kerajaan Hindia Belanda, demikian negara kita  waktu itu disebut, padahal diperintah orang-orang  non-muslim?   Muktamar yang dihadiri oleh ribuan  orang ulama itu, menjawab bahwa wajib hukumnya  secara agama, karena adanya dua sebab. Sebab  pertama, karena kaum muslimin merdeka dan  bebas menjalankan ajaran Islam, di samping sebab kedua, karena dahulu di kawasan tersebut telah dan  Kerajaan Islam. Jawaban kedua itu, diambilkan  dari karya hukum agama di masa lampau, berjudul  “Bughyah al-Mustarsyidin“. Jawabaan di atas memperkuat pandangan Ibn  Taimiyyah, beberapa abad yang lalu. Dalam pendapat pemikir ini, Hukum Agama Islam (fiqh)  memperkenankan adanya “pimpinan berbilang” (ta’addud al-a’immah), yang berarti  pengakuan akan kenyataan bahwa kawasan dunia  Islam sangatlah lebar di muka bumi ini, hingga  tidak dapat dihindarkan untuk dapat menjadi  efektif (syaukah).

Konsep ini, yaitu adanya  pimpinan umat yang hanya khusus berlaku bagi kawasan yang bersangkutan, telah diperkirakan oleh kitab suci Al-qur’an dengan Firman Allah; “Sesungguhnya Aku telah menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan Ku-jadikan  kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa, agar kamu sekalian saling mengenal” (Inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja’alnakum syu’uban wa qaba’ila li ta’arafu). Firman Allah inilah yang menjadi dasar adanya perbedaan  pendapat di kalangan kaum muslimin, walaupun dilarang adanya perpecahan diantara mereka,  seperti kata firman Allah juga: “Berpeganglah kalian(erat-erat) kepada tali Allah secara keseluruhan,an janganlah terbelah-belah/saling bertentangan” (wa’tashimu bi habli Allahi jami’an wa la tafarraqu).


Dengan keputusan Muktamar Banjarmasin tahun 1935 itu, NU dapat menerima kenyataan tentang kedudukan negara dalam pandangan Islam -menurut paham organisasi tersebut-. Yaitu pendapat tentang tidak perlunya NI didirikan, maka dalam hal ini diperlukan sebuah klarifikasi yang  jelas tentang perlu tidaknya didirikan sebuah NI. Disini ada dua pendapat, pertama; sebuah NI harus ada, seperti pendapat kaum elit politik di Saudi  Arabia, Iran, Pakistan dan Mauritania. Pendapat  kedua, seperti dianut oleh NU dan banyak  organisasi Islam lainnya, tidak perlu ada NI. Ini  disebabkan oleh heteroginitas sangat tinggi di  antara para warga negara, di samping kenyataan  ajaran Islam menjadi tanggungjawab masyarakat, dan bukannya negara. Pandangan NU ini bertolak  dari kenyataan bahwa Islam tidak memiliki ajaran  formal yang baku tentang negara, yang jelas ada  adalah mengenai tanggungjawab masyarakat untuk melaksanakan Syari’ah Islam.

Memang, diajukan pada penulis argumentasi dalam bentuk firman Allah; “Hari ini telah Ku- sempurnakan agama kalian, Ku-sempurnakan bagi kalian (pemberian) nikmat-Ku dan Ku-relakan  Islam “sebagai” agama (Al-yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu alaikum nikmati wa radlitu lakum al-Islama diinan). Jelaslah dengan demikian,Islam tidak harus mendirikan negara agama,melainkan ia berbicara tentang kemanusiaan secara umum, yang sama sekali tidak memiliki sifat memaksa, yang jelas terdapat dalam tiap konsep tentang negara. demikian pula, Firman Allah;“Masuklah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara keseluruhan” (Udkhulu fi al-silmi kaffah).Ini berarti kewajiban bagi kita untuk menegakkan ajaran-ajaran kehidupan yang tidak terhingga,sedangkan yang disempurnakan adalah prinsip-prinsip Islam. Hal itu menunjukkan, Islam sesuai dengan tempat dan waktu manapun juga, asalkan tidak melangar prinsip-prinsip tersebut. Inilah maksud dari ungkapan Islam tepat untuk segenap waktu dan tempat (Al-Islam yasluhu likulli zamanin wa makanin).Sebuah argumentasi sering dikemukakan, yaitu  ungkapan Kitab Suci; “Orang yang tidak  “mengeluarkan” fatwa hukum (sesuai dengan) apa yang diturunkan Tuhan, maka orang itu (termasuk) orang yang kafir -atau dalam variasi lain  dinyatakan orang yang dzalim atau orang yang munafiq-” (Wa man lam yahkum bima anzala  Allahu wa hua kaafirun). Namun bagi penulis, tidak  ada alasan untuk melihat keharusan mendirikan  NI, karena Hukum Islam tidak bergantung pada  adanya negara, melainkan masyarakat pun dapat  memberlakukan hukum agama. Misalnya, kita bersholat Jum’at, juga tidak karena undang-undang  negara, melainkan karena itu diperintahkan oleh Syari’at Islam.

Sebuah masyarakat yang secara moral berpegang dan dengan sendirinya melaksanakan Syari’ah Islam, tidak lagi  memerlukan kehadiran sebuah Negara Agama,seperti yang dibuktikan para sahabat di Madinah  setelah Nabi Muhammad SAW wafat.Inilah yang membuat mengapa NU tidak  memperjuangkan sebuah NI di Indonesia (menjadi NII, Negara Islam Indonesia). Kemajemukan  (heterogenitas) yang tinggi dalam kehidupan bangsa kita, membuat kita hanya dapat bersatu  dan kemudian mendirikan negara, yang tidak berdasarkan agama tertentu. Kenyataan inilah yang  sering dikacaukan oleh orang yang tidak mau mengerti bahwa mendirikan sebuah NI tidak wajib bagi kaum muslimin, tapi mendirikan masyarakat  yang berpegang kepada ajaran-ajaran Islam adalah sesuatu yang wajib. Artinya, haruskah agama  secara formal ditubuhkan dalam bentuk negara, atau cukup dilahirkan dalam bentuk masyarakat  saja? Orang “berakal sehat” tentu akan  berpendapat sebaiknya kita mendirikan NI, kalau  memang hal itu tidak memperoleh tentangan, dan  tidak melanggar prinsip persamaan hak bagi semua  warga negara untuk mengatur kehidupan mereka.

Telah disebutkan di atas tentang fatwa Ibn  Taimiyyah, tentang kebolehan Imam berbilang yang  berarti tidak adanya keharusan mendirikan NI. Lalu  mengapakah fatwa-fatwa beliau tidak digunakan  sebagai rujukan oleh Muktamar NU? Karena, pandangan beliau digunakan oleh bangsa yang  berkuasa di Saudi Arabia bersama-sama dengan  ajaran-ajaran Madzhab Hambali (disebutkan juga  dalam bahasa Inggris Hambalite School), yang  secara de facto melarang orang bermadzhab lain.

Kenyataan ini tentu saja membuat orang-orang NU  bersikap reaktif terhadap madzhab tersebut. Tentu  saja hal itu secara resmi tidak dilakukan, karena  sikap Saudi Arabia terhadap madzhab-madzhab  non-Hambali juga tidak bersifat formal. Dengan  kata lain, pertentangan pendapat antara  “pandangan kaum Wahabi” yang secara de facto  demikian keras terhadap madzhab-madzhab lain  itu, menampilkan reaksi tersendiri yang tidak kalah kerasnya. Ini adalah contoh dari sikap keras yang  menimbulkan sikap yang sama pada “pihak seberang”. Contoh dari sikap saling menolak, dan saling tak  mau mengalah itu membuat gagasan membentuk  NI di negara kita (menjadi NII), sebagai sebuah  utopia yang terdengar sangat indah, namun sangat  meragukan dalam kenyataan. Ini belum kalau pihak non-muslim ataupun pihak kaum Muslimin  nominal (kaum abangan), tidak berkeberatan atas gagasan mewujudkan negara Islam itu.

Jadi  gagasan yanag semula tampak indah itu, pada  akhirnya akan dinafikan sendiri oleh bermacam- macam sikap para warga negara, yang hanya  sepakat dalam mendirikan negara bukan agama. Inilah yang harus dipikirkan sebagai kenyataan  sejarah. Kalaupun toh dipaksakan -sekali lagi- untuk mewujudkan gagasan NI itu di negara kita,maka yang akan terjadi hanyalah serangkaian  pemberontakan bersenjata seperti yang terjadi di
negara kita tahun-tahun 50-an. Apakah deretan  pemberontakan bersenjata seperti itu, yang ingin
kita saksikan kembali dalam sejarah modern  bangsa kita ? Ini prinsip yang jelas, tapi sulit dilaksanakan, bukan?


Tulisan ini dimuat di Duta Masyarakat, 23 Februari  2003

Jumat, 26 April 2013

TAMU



Lelaki yang mengetuk pintu pagi hari
sudah duduk di ruang tamu. Aku baru
bangun. Tapi rupanya ia tidak
merasa tersinggung waktu aku belum
mandi dan menemui dia. Rambutku masih
kusut dan pakaianku hanya baju kumal
dan sarung lusuh.
“Aku mau menjemput,” katanya pasti,
seolah-olah aku sudah berjanji sebelumnya
dan tahu apa rencananya.
“Bukankah ini terlalu pagi?” tanyaku ragu.
“Dia sudah menunggu!” Ia nampak tak sabar
dan tak senang dibantah. Aku belum tahu
siapa yang ia maksudkan dengan “dia”,
tetapi sudah bisa kuduga siapa.
“Tetapi aku perlu waktu untuk berpisah
dengan keluarga. Terlalu kejam untuk
meninggalkan mereka begitu saja. Mereka
akan mencari.”
Nampaknya tamu itu begitu angkuh seperti
tak mau dikecilkan arti. Siapa dapat lolos
dari tuntutannya.
Sebelum aku sempat berbenah diri ia telah
menyeret aku ke kendaraannya dan aku dibawanya
lari entah ke mana. ke sorga atau ke neraka?”

Subagio Sastrowardoyo

Selasa, 26 Februari 2013

KEBEBASAN BERPIKIR



       oleh Nurcholish Madjid (2 Januari 1970)




         Di antara kebebasan perseorangan, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapatlah yang paling berharga
            Seharusnya kita mempunyai kemantapan kepercayaan bahwa semua bentuk pikiran dan ide, betapa pun aneh kedengarannya di telinga, haruslah mendapatkan jalan untuk dinyatakan. Tidak jarang, dari pikiran-pikiran dan ide-ide yang umumnya semula dikira salah dan palsu itu, ternyata kemudian benar. Kenyataan itu merupakan pengalaman setiap gerakan pembaruan, perseorangan maupun organisasi, di mana saja di muka bumi ini.  
         Selanjutnya, di dalam pertentangan pikiran-pikiran dan ide-ide, kesalahan sekalipun memberikan kegunaan yang tidak kecil, sebab ia akan mendorong kebenaran untuk menyatakan dirinya dan tumbuh menjadi kuat.
              Karena tiadanya pikiran-pikiran yang segar, maka seseorang telah kehilangan psychological striking force (daya tonjok psikologis), sebab tidak ada suatu badan dengan pikiran bebas yang memusatkan perhatiannya kepada tuntutan-tuntutan segera dari kondisi-kondisi masyarakat yang tumbuh terus, baik di bidang ekonomi, politik maupun sosial. Walaupun begitu, masih harus diakui bahwa pikiran-pikiran kita yang berdasarkan Islam itu dapat menyelesaikan semua problem tersebut sebaik-baiknya, jika disesuaikan, dipersegar, diperbarui, dan diorganisasikan (dikoordinasikan), untuk membuat ide-ide sejalan dengan kenyataan-kenyataan zaman sekarang.            
                Sebagai contoh, ajaran tentang “ syûrâ” atau “musyawarah”, telah diterima oleh umat Islam secara umum sebagai sama, atau dekat, dengan ajaran demokrasi yang berasal dari Barat. Tetapi di pihak lain, ajaran prinsipil Islam tentang keadilan sosial dan pembelaan terhadap kaum lemah, miskin dan tertindas, yang terdapat di mana-mana dalam Kitab Suci, belum menemukan jalan keluarnya untuk menjadi ide-ide dengan perumusan aplikatifnya yang dinamis dan progresif, sebab umat Islam tampaknya masih tabu terhadap kata-kata sosialisme, yaitu ide yang, seperti halnya dengan demokrasi, juga berasal dari Barat, dan kira-kira sama artinya dengan pokok-pokok ide Islam tersebut.
                Halangan psikologis apakah yang ada pada umat Islam, jika karena bukan ketiadaan kebebasan berpikir? Karenanya, kemudian umat Islam tidak mampu mengambil inisiatif-inisiatif yang selalu direbut oleh orang lain, sehingga posisi posisi strategis di bidang pemikiran dan ide berada di tangan mereka, dan akibatnya Islam ditiadakan (exclude) darinya. Sebenarnya penting untuk diketahui, bahwa hal ini persis sebagaimana dalam operasi-operasi militer, seseorang merebut posisi di medan pertempuran, dan dengan begitu menghalangi musuh untuk mendudukinya dan mempertahankannya jangan sampai jatuh ke tangan musuh atau orang lain. Dalam hal inilah, kita melihat kelemahan utama umat Islam.         
                Kesemuanya itu, sekali lagi, akibat tiadanya kebebasan berpikir, kacaunya hierarki antara nilai-nilai mana yang ukhrawi dan mana yang duniawi, sistem berpikir yang masih terlalu tebal diliputi oleh tabu dan a priori, dan seterusnya.

Jumat, 22 Februari 2013

POLITIK JUAL BELI




Datangnya era reformasi sejak tahun 1998 memberikan dampak yang luas diseluruh sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Setelah lebih dari 30 tahun hidup dalam era yang sarat dengan ancaman rezim, reformasi telah membuat apa-apa yang sebelumnya tabu di rezim sebelumnya menjadi wajar adanya tak terkecuali di dunia politik.
Partai politk peserta pemilihan umum yang pada awalnya sangat dibatasi sekarang dibebaskan sebebas-bebasnya sehingga membuat parpol peserta pemilu meledak hingga pernah sampai 48 peserta. Proses pencalonan para calon anggota legislatif juga mengalami perubahan dari yang sebelumnya para caleg yang mempunyai urutan teratas dalam daftar caleg bisa langsung melenggang ke senayan, sekarang tidak bisa demikian. Aturan terakhir, para caleg yang memperoleh suara terbanyak di daerah pemilihannya adalah yang paling berhak melenggang ke senayan, jadi daftar urutan caleg pada saat ini sudah tidak menjadi patokan lagi. Pun demikian dengan pemilihan para eksekutif macam Presiden, Gubernur sampai dengan Bupati/Walikota. Mandat proses pemilihan yang sebelumnya berada dalam kewenangan wakil rakyat yang duduk di DPR/DPRD, saat ini diberikan sepenuhnya oleh rakyat.
                Model pemilihan langsung seperti yang diselenggarakan saat ini membuat para calon mengeluarkan modal yang cukup besar. Seperti yang diungkapkan oleh Pramono Anung dalam disertasinya tentang anggota DPR, satu orang minimal mengeluarkan uang lebih dari 5 milyar. Sedangkan untuk Bupati s.d. Presiden selentingan kabar yang pernah saya dengar antara puluhan milyar sampai dengan bilangan digit 12. Sesuatu yang amat wajar jika melihat bagaimana jor-jorannya para calon eksekutif  beriklan baik di media cetak maupun media elektronik, entah itu lokal maupun level nasional. Ongkos yang telah dikeluarkan sedemikian besarnya mustahil untuk tidak dikondisikan untuk balik modal.
                Dengan gaji atau pendapatan yang maksimal “hanya” 100 juta/ bulan, rasanya juga mustahil apabila para pejabat negara tersebut mengharapkan baliknya modal dari pos “resmi” ini. Maka, jalan lainlah yang harus ditempuh. APBD ratusan miliar sampai puluhan triliun atau APBN ribuan triliun siap-siap dilubangi dari sisi mana saja. Jika tidak, mungkin pakai sistem bagi-bagi proyek sebagai balas jasa dari para pemodal atau ambil kebijakan yang menentukan pihak-pihak yang telah berjasa. Itu bagi yang jadi. Jika yang tidak bisa jadi pejabat, siap-siap jual rumah atau harta benda yang berharga, negosiasi utang atau pilihan terakhir tinggal di rumah sakit jiwa.
                Jabatan yang semestinya merupakan sesuatu yang berat untuk dipikul karena tanggung jawab dan konsekuensi yang sedemikian tinggi, kini menjadi barang dagangan. Masyarakat yang tidak kenal siapa itu para pemimpinnya, dipaksa untuk memilih. Ibarat membeli kucing dalam karung. Jika inspirasi pemilihan langsung ini mengacu pada pilkades, sungguh salah. Pilkades, masyarakat yang ikut memilih sedikit banyak tahu keseharian calon pemimpinnya. Bukan sekedar mengenalkan diri lewat pasang gambar, tebar pesona, pencitraan dan bayar mahal make up konsultan iklan dan politik.
                Tidak hanya para calon pejabat saja sebenarnya yang rugi, negara juga menanggung ongkos yang sedemikian besarnya. Ambil saja rata-sarat biaya satu pilkada kota 100 milyar, jika dikalikan sekitar 500an kab/kota, jumlahnya sudah mencapai 50 trilyun. Kemudian Pilkada provinsi, rata-rata 1 Trilyun, jika dikali 33 provinsi, total dapat 33 trilyun. Pilpres yang menyentuh angka 20 Trilyun. Pemilu partai juga sekitar 20 Trilyun. Belum potensi pemilihan ulang atau putaran kedua. Maka angka diatas 100 trilyun sudah didapat “hanya” untuk memilih orang-orang tidak jelas kualitas kepemimpinannya. Belum potensi konflik sosial dan horizontal. Kerusuhan. Bakar-bakaran. Penculikan. Pembunuhan dan lain sebagainya
                Maka, suara hati saya berkata, kembalikan lagi itu barang yang bernama pemilihan pemimpin via DPR/DPRD dan kembalikan kembali sistem presidensiil. Para calon pejabat lebih hemat mengeluarkan uangnya. Bahkan bisa tanpa modal. Tidak perlu kampanye. Malah didorong-dorong. Andai korupsi masih terjadi, akan berputar pada orang-orang tertentu. Dan itu lebih mudah menangkapnya. Tidak seperti sekarang, banyak sekali “Soeharto-Soeharto” baru bergentayangan tidak jelas bentuknya. Sudah gitu tidak bikin kenyang pula. Biarkan masyarakat tenang dalam hidupnya. Tidak mudah diadu domba, ditunggangi atau fanatik pada orang-orang yang tidak jelas juntrungannya. Tenang bekerja, beribadah dan bermasyarakat. Rukun dengan tetangga, saudara, rekan sejawat, sebangsa dan setanah air. 

admin

Jakarta, 22 Februari 2013