Profil

Jumat, 22 Februari 2013

POLITIK JUAL BELI




Datangnya era reformasi sejak tahun 1998 memberikan dampak yang luas diseluruh sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Setelah lebih dari 30 tahun hidup dalam era yang sarat dengan ancaman rezim, reformasi telah membuat apa-apa yang sebelumnya tabu di rezim sebelumnya menjadi wajar adanya tak terkecuali di dunia politik.
Partai politk peserta pemilihan umum yang pada awalnya sangat dibatasi sekarang dibebaskan sebebas-bebasnya sehingga membuat parpol peserta pemilu meledak hingga pernah sampai 48 peserta. Proses pencalonan para calon anggota legislatif juga mengalami perubahan dari yang sebelumnya para caleg yang mempunyai urutan teratas dalam daftar caleg bisa langsung melenggang ke senayan, sekarang tidak bisa demikian. Aturan terakhir, para caleg yang memperoleh suara terbanyak di daerah pemilihannya adalah yang paling berhak melenggang ke senayan, jadi daftar urutan caleg pada saat ini sudah tidak menjadi patokan lagi. Pun demikian dengan pemilihan para eksekutif macam Presiden, Gubernur sampai dengan Bupati/Walikota. Mandat proses pemilihan yang sebelumnya berada dalam kewenangan wakil rakyat yang duduk di DPR/DPRD, saat ini diberikan sepenuhnya oleh rakyat.
                Model pemilihan langsung seperti yang diselenggarakan saat ini membuat para calon mengeluarkan modal yang cukup besar. Seperti yang diungkapkan oleh Pramono Anung dalam disertasinya tentang anggota DPR, satu orang minimal mengeluarkan uang lebih dari 5 milyar. Sedangkan untuk Bupati s.d. Presiden selentingan kabar yang pernah saya dengar antara puluhan milyar sampai dengan bilangan digit 12. Sesuatu yang amat wajar jika melihat bagaimana jor-jorannya para calon eksekutif  beriklan baik di media cetak maupun media elektronik, entah itu lokal maupun level nasional. Ongkos yang telah dikeluarkan sedemikian besarnya mustahil untuk tidak dikondisikan untuk balik modal.
                Dengan gaji atau pendapatan yang maksimal “hanya” 100 juta/ bulan, rasanya juga mustahil apabila para pejabat negara tersebut mengharapkan baliknya modal dari pos “resmi” ini. Maka, jalan lainlah yang harus ditempuh. APBD ratusan miliar sampai puluhan triliun atau APBN ribuan triliun siap-siap dilubangi dari sisi mana saja. Jika tidak, mungkin pakai sistem bagi-bagi proyek sebagai balas jasa dari para pemodal atau ambil kebijakan yang menentukan pihak-pihak yang telah berjasa. Itu bagi yang jadi. Jika yang tidak bisa jadi pejabat, siap-siap jual rumah atau harta benda yang berharga, negosiasi utang atau pilihan terakhir tinggal di rumah sakit jiwa.
                Jabatan yang semestinya merupakan sesuatu yang berat untuk dipikul karena tanggung jawab dan konsekuensi yang sedemikian tinggi, kini menjadi barang dagangan. Masyarakat yang tidak kenal siapa itu para pemimpinnya, dipaksa untuk memilih. Ibarat membeli kucing dalam karung. Jika inspirasi pemilihan langsung ini mengacu pada pilkades, sungguh salah. Pilkades, masyarakat yang ikut memilih sedikit banyak tahu keseharian calon pemimpinnya. Bukan sekedar mengenalkan diri lewat pasang gambar, tebar pesona, pencitraan dan bayar mahal make up konsultan iklan dan politik.
                Tidak hanya para calon pejabat saja sebenarnya yang rugi, negara juga menanggung ongkos yang sedemikian besarnya. Ambil saja rata-sarat biaya satu pilkada kota 100 milyar, jika dikalikan sekitar 500an kab/kota, jumlahnya sudah mencapai 50 trilyun. Kemudian Pilkada provinsi, rata-rata 1 Trilyun, jika dikali 33 provinsi, total dapat 33 trilyun. Pilpres yang menyentuh angka 20 Trilyun. Pemilu partai juga sekitar 20 Trilyun. Belum potensi pemilihan ulang atau putaran kedua. Maka angka diatas 100 trilyun sudah didapat “hanya” untuk memilih orang-orang tidak jelas kualitas kepemimpinannya. Belum potensi konflik sosial dan horizontal. Kerusuhan. Bakar-bakaran. Penculikan. Pembunuhan dan lain sebagainya
                Maka, suara hati saya berkata, kembalikan lagi itu barang yang bernama pemilihan pemimpin via DPR/DPRD dan kembalikan kembali sistem presidensiil. Para calon pejabat lebih hemat mengeluarkan uangnya. Bahkan bisa tanpa modal. Tidak perlu kampanye. Malah didorong-dorong. Andai korupsi masih terjadi, akan berputar pada orang-orang tertentu. Dan itu lebih mudah menangkapnya. Tidak seperti sekarang, banyak sekali “Soeharto-Soeharto” baru bergentayangan tidak jelas bentuknya. Sudah gitu tidak bikin kenyang pula. Biarkan masyarakat tenang dalam hidupnya. Tidak mudah diadu domba, ditunggangi atau fanatik pada orang-orang yang tidak jelas juntrungannya. Tenang bekerja, beribadah dan bermasyarakat. Rukun dengan tetangga, saudara, rekan sejawat, sebangsa dan setanah air. 

admin

Jakarta, 22 Februari 2013
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar