Datangnya era reformasi sejak tahun 1998 memberikan
dampak yang luas diseluruh sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Setelah lebih
dari 30 tahun hidup dalam era yang sarat dengan ancaman rezim, reformasi telah
membuat apa-apa yang sebelumnya tabu di rezim sebelumnya menjadi wajar adanya
tak terkecuali di dunia politik.
Partai politk peserta pemilihan umum yang pada
awalnya sangat dibatasi sekarang dibebaskan sebebas-bebasnya sehingga membuat
parpol peserta pemilu meledak hingga pernah sampai 48 peserta. Proses
pencalonan para calon anggota legislatif juga mengalami perubahan dari yang
sebelumnya para caleg yang mempunyai urutan teratas dalam daftar caleg bisa
langsung melenggang ke senayan, sekarang tidak bisa demikian. Aturan terakhir,
para caleg yang memperoleh suara terbanyak di daerah pemilihannya adalah yang
paling berhak melenggang ke senayan, jadi daftar urutan caleg pada saat ini
sudah tidak menjadi patokan lagi. Pun demikian dengan pemilihan para eksekutif
macam Presiden, Gubernur sampai dengan Bupati/Walikota. Mandat proses pemilihan
yang sebelumnya berada dalam kewenangan wakil rakyat yang duduk di DPR/DPRD,
saat ini diberikan sepenuhnya oleh rakyat.
Model pemilihan
langsung seperti yang diselenggarakan saat ini membuat para calon mengeluarkan
modal yang cukup besar. Seperti yang diungkapkan oleh Pramono Anung dalam
disertasinya tentang anggota DPR, satu orang minimal mengeluarkan uang lebih
dari 5 milyar. Sedangkan untuk Bupati s.d. Presiden selentingan kabar yang
pernah saya dengar antara puluhan milyar sampai dengan bilangan digit 12. Sesuatu
yang amat wajar jika melihat bagaimana jor-jorannya para calon eksekutif beriklan baik di media cetak maupun media
elektronik, entah itu lokal maupun level nasional. Ongkos yang telah
dikeluarkan sedemikian besarnya mustahil untuk tidak dikondisikan untuk balik
modal.
Dengan gaji atau
pendapatan yang maksimal “hanya” 100 juta/ bulan, rasanya juga mustahil apabila
para pejabat negara tersebut mengharapkan baliknya modal dari pos “resmi” ini.
Maka, jalan lainlah yang harus ditempuh. APBD ratusan miliar sampai puluhan
triliun atau APBN ribuan triliun siap-siap dilubangi dari sisi mana saja. Jika tidak,
mungkin pakai sistem bagi-bagi proyek sebagai balas jasa dari para pemodal atau
ambil kebijakan yang menentukan pihak-pihak yang telah berjasa. Itu bagi yang
jadi. Jika yang tidak bisa jadi pejabat, siap-siap jual rumah atau harta benda
yang berharga, negosiasi utang atau pilihan terakhir tinggal di rumah sakit
jiwa.
Jabatan yang
semestinya merupakan sesuatu yang berat untuk dipikul karena tanggung jawab dan
konsekuensi yang sedemikian tinggi, kini menjadi barang dagangan. Masyarakat
yang tidak kenal siapa itu para pemimpinnya, dipaksa untuk memilih. Ibarat
membeli kucing dalam karung. Jika inspirasi pemilihan langsung ini mengacu pada
pilkades, sungguh salah. Pilkades, masyarakat yang ikut memilih sedikit banyak
tahu keseharian calon pemimpinnya. Bukan sekedar mengenalkan diri lewat pasang
gambar, tebar pesona, pencitraan dan bayar mahal make up konsultan iklan dan politik.
Tidak hanya para
calon pejabat saja sebenarnya yang rugi, negara juga menanggung ongkos yang
sedemikian besarnya. Ambil saja rata-sarat biaya satu pilkada kota 100 milyar,
jika dikalikan sekitar 500an kab/kota, jumlahnya sudah mencapai 50 trilyun.
Kemudian Pilkada provinsi, rata-rata 1 Trilyun, jika dikali 33 provinsi, total
dapat 33 trilyun. Pilpres yang menyentuh angka 20 Trilyun. Pemilu partai juga
sekitar 20 Trilyun. Belum potensi pemilihan ulang atau putaran kedua. Maka
angka diatas 100 trilyun sudah didapat “hanya” untuk memilih orang-orang tidak
jelas kualitas kepemimpinannya. Belum potensi konflik sosial dan horizontal.
Kerusuhan. Bakar-bakaran. Penculikan. Pembunuhan dan lain sebagainya
Maka, suara hati
saya berkata, kembalikan lagi itu barang yang bernama pemilihan pemimpin via
DPR/DPRD dan kembalikan kembali sistem presidensiil. Para calon pejabat lebih
hemat mengeluarkan uangnya. Bahkan bisa tanpa modal. Tidak perlu kampanye.
Malah didorong-dorong. Andai korupsi masih terjadi, akan berputar pada
orang-orang tertentu. Dan itu lebih mudah menangkapnya. Tidak seperti sekarang,
banyak sekali “Soeharto-Soeharto” baru bergentayangan tidak jelas bentuknya.
Sudah gitu tidak bikin kenyang pula. Biarkan masyarakat tenang dalam hidupnya.
Tidak mudah diadu domba, ditunggangi atau fanatik pada orang-orang yang tidak
jelas juntrungannya. Tenang bekerja, beribadah dan bermasyarakat. Rukun dengan
tetangga, saudara, rekan sejawat, sebangsa dan setanah air.
admin
Jakarta, 22 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar