oleh Nurcholish Madjid (2 Januari 1970)
Di antara kebebasan perseorangan, kebebasan
berpikir dan menyatakan pendapatlah yang paling berharga
Seharusnya kita
mempunyai kemantapan kepercayaan bahwa semua bentuk pikiran dan ide, betapa pun
aneh kedengarannya di telinga, haruslah mendapatkan jalan untuk dinyatakan.
Tidak jarang, dari pikiran-pikiran dan ide-ide yang umumnya semula dikira salah
dan palsu itu, ternyata kemudian
benar. Kenyataan itu merupakan pengalaman setiap gerakan pembaruan,
perseorangan maupun organisasi, di mana saja di muka bumi ini.
Selanjutnya, di dalam pertentangan pikiran-pikiran dan ide-ide, kesalahan sekalipun memberikan kegunaan yang tidak kecil, sebab ia akan mendorong kebenaran untuk menyatakan dirinya dan tumbuh menjadi kuat.
Karena tiadanya pikiran-pikiran yang segar, maka seseorang telah kehilangan psychological striking force (daya tonjok psikologis), sebab tidak ada suatu badan dengan pikiran bebas yang memusatkan perhatiannya kepada tuntutan-tuntutan segera dari kondisi-kondisi masyarakat yang tumbuh terus, baik di bidang ekonomi, politik maupun sosial. Walaupun begitu, masih harus diakui bahwa pikiran-pikiran kita yang berdasarkan Islam itu dapat menyelesaikan semua problem tersebut sebaik-baiknya, jika disesuaikan, dipersegar, diperbarui, dan diorganisasikan (dikoordinasikan), untuk membuat ide-ide sejalan dengan kenyataan-kenyataan zaman sekarang.
Sebagai contoh, ajaran tentang “ syûrâ” atau “musyawarah”, telah diterima oleh umat Islam secara umum sebagai sama, atau dekat, dengan ajaran demokrasi yang berasal dari Barat. Tetapi di pihak lain, ajaran prinsipil Islam tentang keadilan sosial dan pembelaan terhadap kaum lemah, miskin dan tertindas, yang terdapat di mana-mana dalam Kitab Suci, belum menemukan jalan keluarnya untuk menjadi ide-ide dengan perumusan aplikatifnya yang dinamis dan progresif, sebab umat Islam tampaknya masih tabu terhadap kata-kata sosialisme, yaitu ide yang, seperti halnya dengan demokrasi, juga berasal dari Barat, dan kira-kira sama artinya dengan pokok-pokok ide Islam tersebut.
Halangan psikologis apakah yang ada pada umat Islam, jika karena bukan ketiadaan kebebasan berpikir? Karenanya, kemudian umat Islam tidak mampu mengambil inisiatif-inisiatif yang selalu direbut oleh orang lain, sehingga posisi posisi strategis di bidang pemikiran dan ide berada di tangan mereka, dan akibatnya Islam ditiadakan (exclude) darinya. Sebenarnya penting untuk diketahui, bahwa hal ini persis sebagaimana dalam operasi-operasi militer, seseorang merebut posisi di medan pertempuran, dan dengan begitu menghalangi musuh untuk mendudukinya dan mempertahankannya jangan sampai jatuh ke tangan musuh atau orang lain. Dalam hal inilah, kita melihat kelemahan utama umat Islam.
Kesemuanya itu, sekali lagi, akibat tiadanya kebebasan berpikir, kacaunya hierarki antara nilai-nilai mana yang ukhrawi dan mana yang duniawi, sistem berpikir yang masih terlalu tebal diliputi oleh tabu dan a priori, dan seterusnya.
Selanjutnya, di dalam pertentangan pikiran-pikiran dan ide-ide, kesalahan sekalipun memberikan kegunaan yang tidak kecil, sebab ia akan mendorong kebenaran untuk menyatakan dirinya dan tumbuh menjadi kuat.
Karena tiadanya pikiran-pikiran yang segar, maka seseorang telah kehilangan psychological striking force (daya tonjok psikologis), sebab tidak ada suatu badan dengan pikiran bebas yang memusatkan perhatiannya kepada tuntutan-tuntutan segera dari kondisi-kondisi masyarakat yang tumbuh terus, baik di bidang ekonomi, politik maupun sosial. Walaupun begitu, masih harus diakui bahwa pikiran-pikiran kita yang berdasarkan Islam itu dapat menyelesaikan semua problem tersebut sebaik-baiknya, jika disesuaikan, dipersegar, diperbarui, dan diorganisasikan (dikoordinasikan), untuk membuat ide-ide sejalan dengan kenyataan-kenyataan zaman sekarang.
Sebagai contoh, ajaran tentang “ syûrâ” atau “musyawarah”, telah diterima oleh umat Islam secara umum sebagai sama, atau dekat, dengan ajaran demokrasi yang berasal dari Barat. Tetapi di pihak lain, ajaran prinsipil Islam tentang keadilan sosial dan pembelaan terhadap kaum lemah, miskin dan tertindas, yang terdapat di mana-mana dalam Kitab Suci, belum menemukan jalan keluarnya untuk menjadi ide-ide dengan perumusan aplikatifnya yang dinamis dan progresif, sebab umat Islam tampaknya masih tabu terhadap kata-kata sosialisme, yaitu ide yang, seperti halnya dengan demokrasi, juga berasal dari Barat, dan kira-kira sama artinya dengan pokok-pokok ide Islam tersebut.
Halangan psikologis apakah yang ada pada umat Islam, jika karena bukan ketiadaan kebebasan berpikir? Karenanya, kemudian umat Islam tidak mampu mengambil inisiatif-inisiatif yang selalu direbut oleh orang lain, sehingga posisi posisi strategis di bidang pemikiran dan ide berada di tangan mereka, dan akibatnya Islam ditiadakan (exclude) darinya. Sebenarnya penting untuk diketahui, bahwa hal ini persis sebagaimana dalam operasi-operasi militer, seseorang merebut posisi di medan pertempuran, dan dengan begitu menghalangi musuh untuk mendudukinya dan mempertahankannya jangan sampai jatuh ke tangan musuh atau orang lain. Dalam hal inilah, kita melihat kelemahan utama umat Islam.
Kesemuanya itu, sekali lagi, akibat tiadanya kebebasan berpikir, kacaunya hierarki antara nilai-nilai mana yang ukhrawi dan mana yang duniawi, sistem berpikir yang masih terlalu tebal diliputi oleh tabu dan a priori, dan seterusnya.