Profil

Selasa, 26 Februari 2013

KEBEBASAN BERPIKIR



       oleh Nurcholish Madjid (2 Januari 1970)




         Di antara kebebasan perseorangan, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapatlah yang paling berharga
            Seharusnya kita mempunyai kemantapan kepercayaan bahwa semua bentuk pikiran dan ide, betapa pun aneh kedengarannya di telinga, haruslah mendapatkan jalan untuk dinyatakan. Tidak jarang, dari pikiran-pikiran dan ide-ide yang umumnya semula dikira salah dan palsu itu, ternyata kemudian benar. Kenyataan itu merupakan pengalaman setiap gerakan pembaruan, perseorangan maupun organisasi, di mana saja di muka bumi ini.  
         Selanjutnya, di dalam pertentangan pikiran-pikiran dan ide-ide, kesalahan sekalipun memberikan kegunaan yang tidak kecil, sebab ia akan mendorong kebenaran untuk menyatakan dirinya dan tumbuh menjadi kuat.
              Karena tiadanya pikiran-pikiran yang segar, maka seseorang telah kehilangan psychological striking force (daya tonjok psikologis), sebab tidak ada suatu badan dengan pikiran bebas yang memusatkan perhatiannya kepada tuntutan-tuntutan segera dari kondisi-kondisi masyarakat yang tumbuh terus, baik di bidang ekonomi, politik maupun sosial. Walaupun begitu, masih harus diakui bahwa pikiran-pikiran kita yang berdasarkan Islam itu dapat menyelesaikan semua problem tersebut sebaik-baiknya, jika disesuaikan, dipersegar, diperbarui, dan diorganisasikan (dikoordinasikan), untuk membuat ide-ide sejalan dengan kenyataan-kenyataan zaman sekarang.            
                Sebagai contoh, ajaran tentang “ syûrâ” atau “musyawarah”, telah diterima oleh umat Islam secara umum sebagai sama, atau dekat, dengan ajaran demokrasi yang berasal dari Barat. Tetapi di pihak lain, ajaran prinsipil Islam tentang keadilan sosial dan pembelaan terhadap kaum lemah, miskin dan tertindas, yang terdapat di mana-mana dalam Kitab Suci, belum menemukan jalan keluarnya untuk menjadi ide-ide dengan perumusan aplikatifnya yang dinamis dan progresif, sebab umat Islam tampaknya masih tabu terhadap kata-kata sosialisme, yaitu ide yang, seperti halnya dengan demokrasi, juga berasal dari Barat, dan kira-kira sama artinya dengan pokok-pokok ide Islam tersebut.
                Halangan psikologis apakah yang ada pada umat Islam, jika karena bukan ketiadaan kebebasan berpikir? Karenanya, kemudian umat Islam tidak mampu mengambil inisiatif-inisiatif yang selalu direbut oleh orang lain, sehingga posisi posisi strategis di bidang pemikiran dan ide berada di tangan mereka, dan akibatnya Islam ditiadakan (exclude) darinya. Sebenarnya penting untuk diketahui, bahwa hal ini persis sebagaimana dalam operasi-operasi militer, seseorang merebut posisi di medan pertempuran, dan dengan begitu menghalangi musuh untuk mendudukinya dan mempertahankannya jangan sampai jatuh ke tangan musuh atau orang lain. Dalam hal inilah, kita melihat kelemahan utama umat Islam.         
                Kesemuanya itu, sekali lagi, akibat tiadanya kebebasan berpikir, kacaunya hierarki antara nilai-nilai mana yang ukhrawi dan mana yang duniawi, sistem berpikir yang masih terlalu tebal diliputi oleh tabu dan a priori, dan seterusnya.

Jumat, 22 Februari 2013

POLITIK JUAL BELI




Datangnya era reformasi sejak tahun 1998 memberikan dampak yang luas diseluruh sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Setelah lebih dari 30 tahun hidup dalam era yang sarat dengan ancaman rezim, reformasi telah membuat apa-apa yang sebelumnya tabu di rezim sebelumnya menjadi wajar adanya tak terkecuali di dunia politik.
Partai politk peserta pemilihan umum yang pada awalnya sangat dibatasi sekarang dibebaskan sebebas-bebasnya sehingga membuat parpol peserta pemilu meledak hingga pernah sampai 48 peserta. Proses pencalonan para calon anggota legislatif juga mengalami perubahan dari yang sebelumnya para caleg yang mempunyai urutan teratas dalam daftar caleg bisa langsung melenggang ke senayan, sekarang tidak bisa demikian. Aturan terakhir, para caleg yang memperoleh suara terbanyak di daerah pemilihannya adalah yang paling berhak melenggang ke senayan, jadi daftar urutan caleg pada saat ini sudah tidak menjadi patokan lagi. Pun demikian dengan pemilihan para eksekutif macam Presiden, Gubernur sampai dengan Bupati/Walikota. Mandat proses pemilihan yang sebelumnya berada dalam kewenangan wakil rakyat yang duduk di DPR/DPRD, saat ini diberikan sepenuhnya oleh rakyat.
                Model pemilihan langsung seperti yang diselenggarakan saat ini membuat para calon mengeluarkan modal yang cukup besar. Seperti yang diungkapkan oleh Pramono Anung dalam disertasinya tentang anggota DPR, satu orang minimal mengeluarkan uang lebih dari 5 milyar. Sedangkan untuk Bupati s.d. Presiden selentingan kabar yang pernah saya dengar antara puluhan milyar sampai dengan bilangan digit 12. Sesuatu yang amat wajar jika melihat bagaimana jor-jorannya para calon eksekutif  beriklan baik di media cetak maupun media elektronik, entah itu lokal maupun level nasional. Ongkos yang telah dikeluarkan sedemikian besarnya mustahil untuk tidak dikondisikan untuk balik modal.
                Dengan gaji atau pendapatan yang maksimal “hanya” 100 juta/ bulan, rasanya juga mustahil apabila para pejabat negara tersebut mengharapkan baliknya modal dari pos “resmi” ini. Maka, jalan lainlah yang harus ditempuh. APBD ratusan miliar sampai puluhan triliun atau APBN ribuan triliun siap-siap dilubangi dari sisi mana saja. Jika tidak, mungkin pakai sistem bagi-bagi proyek sebagai balas jasa dari para pemodal atau ambil kebijakan yang menentukan pihak-pihak yang telah berjasa. Itu bagi yang jadi. Jika yang tidak bisa jadi pejabat, siap-siap jual rumah atau harta benda yang berharga, negosiasi utang atau pilihan terakhir tinggal di rumah sakit jiwa.
                Jabatan yang semestinya merupakan sesuatu yang berat untuk dipikul karena tanggung jawab dan konsekuensi yang sedemikian tinggi, kini menjadi barang dagangan. Masyarakat yang tidak kenal siapa itu para pemimpinnya, dipaksa untuk memilih. Ibarat membeli kucing dalam karung. Jika inspirasi pemilihan langsung ini mengacu pada pilkades, sungguh salah. Pilkades, masyarakat yang ikut memilih sedikit banyak tahu keseharian calon pemimpinnya. Bukan sekedar mengenalkan diri lewat pasang gambar, tebar pesona, pencitraan dan bayar mahal make up konsultan iklan dan politik.
                Tidak hanya para calon pejabat saja sebenarnya yang rugi, negara juga menanggung ongkos yang sedemikian besarnya. Ambil saja rata-sarat biaya satu pilkada kota 100 milyar, jika dikalikan sekitar 500an kab/kota, jumlahnya sudah mencapai 50 trilyun. Kemudian Pilkada provinsi, rata-rata 1 Trilyun, jika dikali 33 provinsi, total dapat 33 trilyun. Pilpres yang menyentuh angka 20 Trilyun. Pemilu partai juga sekitar 20 Trilyun. Belum potensi pemilihan ulang atau putaran kedua. Maka angka diatas 100 trilyun sudah didapat “hanya” untuk memilih orang-orang tidak jelas kualitas kepemimpinannya. Belum potensi konflik sosial dan horizontal. Kerusuhan. Bakar-bakaran. Penculikan. Pembunuhan dan lain sebagainya
                Maka, suara hati saya berkata, kembalikan lagi itu barang yang bernama pemilihan pemimpin via DPR/DPRD dan kembalikan kembali sistem presidensiil. Para calon pejabat lebih hemat mengeluarkan uangnya. Bahkan bisa tanpa modal. Tidak perlu kampanye. Malah didorong-dorong. Andai korupsi masih terjadi, akan berputar pada orang-orang tertentu. Dan itu lebih mudah menangkapnya. Tidak seperti sekarang, banyak sekali “Soeharto-Soeharto” baru bergentayangan tidak jelas bentuknya. Sudah gitu tidak bikin kenyang pula. Biarkan masyarakat tenang dalam hidupnya. Tidak mudah diadu domba, ditunggangi atau fanatik pada orang-orang yang tidak jelas juntrungannya. Tenang bekerja, beribadah dan bermasyarakat. Rukun dengan tetangga, saudara, rekan sejawat, sebangsa dan setanah air. 

admin

Jakarta, 22 Februari 2013
 

Rabu, 20 Februari 2013

JAKARTA DAN KOMPLEKSITASNYA



               Tidak pernah terbayangkan sebelumnya di alam pikiran saya untuk tinggal di kota sebesar Jakarta. Mungkin sudah suratan takdir kenapa akhirnya saya tinggal disini. Kota yang segala polah dan tingkahnya menjadi pusat perhatian seluruh masyarakat di Indonesia. Apakah itu tentang gaya hidup, politik, ekonomi, budaya, keamanan, gosip sampai dengan kata-kata gaul. Hal ini tidak aneh, mengingat kedudukan Jakarta tidak hanya berputar pada statusnya sebagai ibukota negara, namun juga menyandang status sebagai pusat bisnis, hiburan, pendidikan, budaya, dsb.
            Ada beberapa hal yang menjadi perhatian saya selama tinggal disini, yang PERTAMA adalah gaya hidup konsumeris dan hedonis sebagian besar masyarakat. Entah duit dari mana datangnya, membuat mereka begitu gampangnya mengeluarkan uang dan seolah-olah nilai uang yang bagi umumnya masyarakat Indonesia begitu sangat berharga, bagi mereka seolah tidak ada artinya. Kita bisa lihat hampir setiap hari mal, pusat perbelanjaan selalu penuh, entah apa yang dibelanjakannya, ada saja pastinya. Belum lagi restoran, bioskop, tempat karaoke, tampat nongkrong juga tidak kalah penuhnya. Jika yang melakukan hal yang demikian adalah masyarakat yang memang mempunyai kekayaan tanpa batas sih wajar-wajar saja. Namun jika hal tersebut turut menjangkiti masyarakat tingkat menengah ke bawah, maka hal tersebut menjadi warning tersendiri bagi alur hidup warga Jakarta.
            Yang KEDUA adalah tata cara pergaulan. Orang Jakarta mempunyai sifat yang terbuka, egaliter dan mudah berteman dengan siapa saja. Sebagai orang yang lama tinggal di jawa bagian tengah, saya agak terkaget-kaget. Sebagai contoh ketika di ruang kuliah atau ruang diskusi, tanya jawab bisa mengalir sedemikian rupa dengan bumbu kritik-kritik yang tajam yang jika sang dosen atau narasumber tidak siap maka situasi bisa berbalik sang dosen atau narasumber harus berguru pada yang bertanya. Namun dari sisi ini juga ada kelemahannya, dengan sifat yang demikian maka tingkat keterpengaruhan akan budaya yang negatif menjadi lebih mudah masuk. Gejala penggunaan narkoba, tawuran, pergaulan bebas sedikit banyak menurut hemat saya berasal dari adanya sifat-sifat ini.
          Namun Jakarta tidak sepenuhnya berisi hal yang negatif sebagaimana banyak masyarakat memandang demikian. Ini yang menjadi poin terakhir saya di kesempatan ini. Jika kita jeli, banyak sekali ditemukan majelis ilmu dari berbagai macam disiplin, aliran dan komunitas. Bebas dan terbuka untuk umum. Banyak sekali masjid setiap harinya menyeleggarakan kajian, bisa saat jam makan siang atau selepas malam. Belum lagi forum tentang politik, sosial, seni, budaya, dsb. Yang rutin diadakan apakah itu setiap minggu atau model bulanan. Hal ini yang saat ini sedang saya nikmati betul. Apalagi menilik kondisi saya yang masih bujangan.
       Jakarta singkat cerita mengandung beragam warna. Bagai dua sisi uang koin, didalamnya banyak mengandung kontradiksi. Saling melengkapi. Diantara poin yang saya sebutkan diatas, Jakarta masih menyimpan segudang masalah. Isu kemacetan, banjir, kriminalitas, tingkat pengangguran, pembangunan kota, perumahan murah, dan sarana transportasi masih dominan di alam pikiran masyarakat Jakarta. Dan beginilah Jakarta, hal yang demikian membuatnya selalu hidup 24 jam setiap harinya.

Admin
Jakarta, 20 Feb 2013.